Tuesday, April 26, 2016

TEKANAN...

tekanan
Siapa yang tidak pernah mengalami tekanan di dalam kehidupanya, semua pasti memilikinya. Baik itu dari depan, belakang, kiri, kanan, atas, bawah, ntah darimanapun itu, kita pasti pernah mengalaminya. Banyak sekali orang yang bercerita kepada kita kalau dia sedang mengalami pergumulan yang berat dan itu adalah sebuah tekanan, dan ketika kita memberi masukan akan apa yang dialaminya kadang dia tidak menerima. Begitu juga dengan diri kita sendiri. Seringkali kita ketika ada dalam masalah, salah satu cara meringankannya adalah dengan bercerita kepada teman terdekat kita. Tapi ketika mereka memberikan masukan kepada kita, kita seringkali tidak menerimanya, seringkali kita itu merasa paling benar, padahal sudah bagus dikasih masukan, gratis lagi...

Saat ini banyak sekali tekanan yang ku alami, sebagai mahasiswa semester akhir, sebagai panitia, sebagai anak, sebagai abang, sebagai pemimpin, banyak yang harus ku pikirkan. Dan kadang kala, aku memikirkan semua sekaligus, dan akhirnya tidak ada satupun yang berjalan dengan bagus.Kadang aku ingin bercerita, tetapi ketika mulai bercerita, kurang respon si pendengar jadi kesal yang ada. Banyak lah yang menjadi pergumulan hidup ini...

Waktu aku masih semester awal di kampus, ketika orang berbicara dia punya masalah atau tekanan, aku dengan gampang akan mengatakan, kalau tidak punya masalah, gak hidup lah. Hidup itu penuh dengan berbagai masalah dan tekanan. Tapi, ketika sekarang, apakah aku bisa mengatakan hal yang sama? sangat sulit rasanya menyatakan hal yang sama.

Belakangan ini seringkali aku mendengar khotbah yang ada bagian ini, matius 6;33, Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu... Aku agak terhibur dengan hal itu. Apa yang kita cari di dunia ini, ketika kita sukses, pasti mati juga. Tidak ada yang lebih berharga daripada menjadi Anak-Anak Allah, jadi apa yang perlu kita takutkan, yang paling berharga sudah kita dapatkan, jadi jangan terlalu pusing dengan hal duniawi ini...

Hal itu sedikit menghiburku, kadang mataku sampai berkaca-kaca mendengar hal seperti itu. Tapi aku masih bisa berpikir, kalau aku melakukan hal itu, aku kurang memikirkan studiku, apakah itu jalan yang benar, pasti tidak. Ketika aku sebagai mahasiswa yang takut akan Tuhab, aku seharusnya bertanggung jawab dengan bagianku, dan salah satunya adalah menyelesaikan studiku...

Sakit memang rasanya berada di zona ini, tapi aku harus melaluinya, karena itu adalah bagian yang harus ku pertanggung jawabkan.

Semua pergumulan, tekanan, boleh ada di dunia ini, bahkan bagi orang yang percaya, bukan supaya kita jatuh, tapi supaya kita teguh berjalan di jalanNya.

Mengatakan memang mudah, jadi lakukanlah... mari kita lakukan bagian kita sebagai saksi Kristus di dunia ini, jangan kita menjadi batu sandungan bagi namaNya di dunia ini...

Tekanan ada, karena keselamatan sepaket dengan penderitaan... kita bebas melakukan yang benar...

Salam harjoshrian...

Tuesday, April 5, 2016

MIMPI...

Ada tiga alasan berbeda kenapa orang dapat menangis. Pertama, mereka merasakan sesuatu yang menyakitkan dan memberi emosi sehingga mereka terjatuh di titik terdalam mereka. Kedua, mereka yang merasakan sesuatu yang membangkitkannya dari ketenangan, sesuatu yang dapat memotivasi mereka, dan sesuatu yang menyentuh hati mereka. Yang ketiga, mereka yang sakit mata atau bahkan sedang menguap. Dari ketiga alasan tersebut, alasan kedua merupakan alasan yang sulit untuk diraih, mereka menyebutnya air mata kebahagiaan.

Saat ini, aku berdiri tegap menarik napas dan memejamkan mataku di tempat favoritku. Memulai memutar setiap kenangan yang telah ku lalui. Apalah arti kenangan jika kamu tidak memanfaatkannya untuk membuat ceritamu? Itu yang selalu menjadi pemikiranku. Aku mulai tersenyum ketika mengingat saat bahagia masa kecilku bersama kakakku. Kami memiliki perbedaan umur yang jauh. Kakakku sudah masuk kuliah ketika aku berusia enam tahun. Kak Bob, panggilan khususku untuknya -walaupun sebenarnya dia tidak menyukainya- setiap minggu saat dia pulang ke rumah, dia selalu mengajakku untuk pergi bermain. Aku kembali membuka mataku. Melihat gelapnya air yang ada di depanku, hanya ada cahaya bulan yang menemaniku. Keadaan sepi membuatku melihat sekeliling.

Aku mengambil handphone di kantong depan jaket hoodie biru yang ku pakai. Sebuah pesan singkat mengatakan untuk menunggu dirinya dan jangan berpindah dari tempatku sekarang. Aku tersenyum dan memasukkan handphone ke dalam kantong. Aku menatap lurus ke depan, menatap indah cahaya-cahaya bangunan yang masih berkelap-kelip di tengah kegelapan malam. Sesaat kemudian, kenangan kembali menemuiku. Kenangan ketika Kak Bob wisuda, kami sekeluarga sangat bahagia. Kak Ester, kakak keduaku saat itu tidak dapat ikut merayakannya karena sedang mengikuti pertunjukan balet di luar negeri selama beberapa minggu. Papa dan mama sangat bangga dengan Kak Ester dan Kak Bob, belum lagi setelah wisuda Kak Bob akan bekerja di salah satu perusahaan asing ternama. Aku yang belum tahu apa-apa hanya dapat ikut merayakannya.

Menjadi anak terakhir menjadi sebuah kebanggaan untukku sendiri. Aku dapat memamerkan kakak-kakakku dan setelah kedua kakakku tidak tinggal di rumah, semua perhatian beralih padaku. Ketika aku pulang dari sekolah, Kak Ester sudah terbaring di kasur, aku yang melihatnya menjadi sangat bersemangat karena aku merindukannya. Tetapi, sebelum sempat masuk ke kamarnya, Mama menutup pintu dan mengatakan untuk tidak mengganggunya. Beberapa bulan kemudian, aku tidak pernah melihat Kak Ester pergi ke sanggar baletnya lagi. Dia menjadi orang yang keras dengan orang di sekitarnya. Kak Bob masih sering mengajakku pergi ketika dia memiliki waktu luang. Aku bercerita tentang Kak Ester padanya. Dia sepertinya mengerti betul masalah Kak Ester karena dia tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum padaku. Kak Bob menyarankan untuk memberi Kak Ester hadiah yang mungkin dapat membuat keadaan hatinya lebih baik.

Aku memilih untuk memberinya kartu ucapan dengan foto dirinya yang sedang menari di satu sisinya. Butuh lima hari bagiku untuk membuatnya, aku cukup bangga dengan karya yang akan ku hadiahkan pada Kak Ester. Ketika Kak Ester baru pulang dari sekolah, aku memberikannya. Dia tersenyum dan memelukku. Air mata ke luar dari matanya dan kemudian menuju kamarnya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku tahu itu hal yang membuatnya sedih. Beberapa tahun kemudian, kami pindah rumah dan Kak Ester harus pergi ke luar kota untuk meneruskan pendidikannya. Kak Bob juga memulai membuka usahanya sendiri di kampung halaman kami. Aku sangat senang dengan keadaanku saat itu. Teman baru, rumah baru, suasana baru, dan tentunya aku menjadi anak tunggal secara tidak langsung. Kak Ester jarang menemui kami karena sibuk dan dia tidak mau mengeluarkan biaya untuk transportasi. Sebenarnya, Papa dan Mama sudah menawarkan untuk membiayainya, tapi sepertinya itu bukan prinsip Kak Ester.

Kak Bob mengunjungi kami sekali dalam tiga bulan. Usahanya sudah cukup maju untuk ditinggal berpergian. Bahkan ternyata diam-diam Kak Bob sudah memiliki kekasih, kabarnya bulan depan saat akan mengunjungi kami, dia akan memperkenalkan dengan Mama dan Papa. Suara beberapa orang yang sedang berjalan di belakangku membangunkanku dari mimpi kenangan. Aku menengok kanan dan kiri mencari sosoknya. Aku kembali melihat handphone dan jam menunjukkan pukul 22.49, aku kembali menarik napasku dan melihat ke langit yang kosong tanpa taburan bintang. Saat itulah kenangan buruk mulai menemaniku. Hari itu, Papa dan Mama terlihat bingung, mereka tidak menjawab setiap pertanyaan yang ku ajukan, tetapi aku tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres.

Rupanya Usaha Kak Bob mengalami penurunan drastis karena penipuan. Papa dan Mama berusaha mencari cara untuk membantu Kak Bob, tetapi usaha yang dilakukan sia-sia. Kak Bob kembali tinggal dengan kami, setiap hari dia mengurung diri di kamar dan mengatakan kalau dirinya tidak berguna. Beberapa bulan berikutnya, Kak Ester mengatakan kalau dia akan segera wisuda dan akan bekerja di luar negeri. Kak Bob yang mendengarnya merasa termotivasi dan mulai mencari pekerjaan. Dalam beberapa minggu berikutnya, Kak Bob mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan impiannya. Papa, Mama, aku, dan Kak Ester diundang untuk ikut merayakan diterimanya Kak Bob di perusahaan baru dan perginya Kak Ester dalam beberapa bulan lagi.

Kami menikmati makan malam bersama di salah satu restoran ternama di kawasan Jakarta Pusat. Tawa canda kami dapat terdengar hingga ke luar restoran. Kami sekeluarga sangat berbahagia saat itu. Hingga Mamaku berkata, “Haha.. Kalau bukan karena kamu Bobby sama Ester, mungkin Mama sama Papa tidak bisa makan enak seperti ini.” Aku tertegun, mungkin Mama melihatku masih kecil tetapi aku tahu betul arti kata itu. Mama terlihat sangat bangga dengan kedua kakakku. Aku sangat berharap suatu hari dia akan mengucapkan hal yang sama padaku. Tidak ku sadari Papa menatapku dengan tatapan khawatir. Aku menatapnya balik dan tersenyum lalu meneruskan memakan makanan yang disajikan. Kata-kata itu membuat hatiku tidak tenang. Aku merasa tidak dilihat di keluargaku. Aku merasa aku bukan siapa-siapa selain beban Papa dan Mama. Mungkin aku tersenyum, tetapi di hatiku aku mulai bingung dengan masa depanku.
Masa depan? Aku belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Setelah makan malam, Mama, Kak Ester, dan Kak Bob pergi untuk mencari perlengkapan yang dibutuhkan Kak Ester untuk tinggal di luar negeri. Sedangkan, aku dan Papa duduk di luar kafe sambil ditemani kue sebagai makanan penutup kami. Papa menanyakan keadaanku, aku tidak bisa menjawab dan hanya tersenyum -berharap itu dapat menjawab pertanyaan Papa- kemudian meminum teh hangat yang mengusir rasa kering di tenggorokanku. Papa memang tahu betul perasaanku, dibanding Mama aku memang lebih dekat dengan Papa. Selama ini pun yang selalu menyetujui pilihanku hanya Papa. Dia memberiku nasihat untuk lebih berani menentukan pilihan dan menyelesaikan pilihanku. Dia juga mengatakan aku harus mau bekerja keras untuk membanggakannya dan Mama.

Aku menutup mataku mengakhiri kenangan burukku. Aku tidak ingin mengingatnya lebih jauh. Biarkan kenangan buruk tersimpan dan kenangan baik menjadi cerita di kepalaku. Masih menunggu sosok yang sedari belum datang, aku mulai merasa jenuh dan memperbaiki hoodie yang ku pakai. Aku kembali meletakkan tanganku di pagar dan melihat ke bawah, air yang tenang memantulkan bayanganku. Aku ingat saat itu aku takut melihat diriku sendiri. Betul, ketakutan terbesarku adalah mengecewakan orang di sekitarku dengan sikapku yang keras kepala dan tidak ingin bekerja keras.
Banyak hal yang ku lalui, masa-masa pubertas yang membingungkan masa depanku yang masih belum diketahui tujuannya. Ya, aku berhasil melaluinya. Kemudian muncul masa-masa ketika aku tidak berani mencoba sesuatu yang baru, melihat kenangan itu membuatku malu dengan diriku sendiri. Aku tidak berani menatap diriku di depan kaca, karena aku tahu itu adalah kelemahanku. Banyak mimpi yang ingin ku raih, tetapi tidak ada satu pun yang tercapai hingga saat ini, aku berdiri di pinggiran sungai melihat bayangan diriku di pantulan air. Sekarang aku dapat bangga dengan diriku, bukan karena kesuksesan kakakku tetapi karena kesuksesanku.

“Adel, maaf Papah lama. Mamah di mobil tidak mau ikut ke luar, katanya di sini lebih dingin daripada di Indonesia, jadi dia tidak mau ke luar mobil.” Suara ayahku membangunkanku dari lamunanku.
“Tidak apa, Pah. Ayo, kita pulang.” Aku menggandeng tangan Papaku yang mulai dingin karena cuaca.
“Tadi bagaimana makan malamnya? Cukup romantis?”
“Iya, lumayan. Makasih ya, anak Papa yang satu ini memang berbeda dari yang lain.” Ejek ayahku.
“Iya, aku hanya ingin Papah sama Mamah nostalgia,” ejekku balik. Ketika aku memasukki mobil, Mama menyambutku dengan senang. Senyum tulusnya yang belum pernah ku lihat selama 25 tahun aku hidup dengannya. “Makasih ya Del, Mamah bangga sama kamu, sekarang Mamah sama Papah bisa sampai di sini karena kamu. Bahkan Mamah sama Papah bisa sampai berkeliling kota dan makan di restoran bintang karena kamu.”

Hatiku serasa berhenti berdetak, aku tersenyum dan air mata mengalir di pipiku. Aku yakin apa yang dikatakan Mamaku tulus dari hatinya. Aku yakin aku tidak salah dengar. Aku sudah menjadi salah satu permata di keluargaku. Sekarang, aku terlihat di antara kedua kakakku. Aku sudah menjadi anak yang membanggakan orangtuanya. “Kamu kenapa menangis?” Tanya Mama yang bingung dengan tangisanku. Aku menggeleng. Kini aku tahu betul apa mimpiku, dan aku sudah meraihnya dengan baik. Aku hanya ingin Mama dan Papa bangga dengan diriku yang selama ini hanya menjadi beban dan anak terakhir di keluarga. Aku hanya ingin membuktikan diriku ini dilahirkan untuk membanggakan orangtuaku, bukan hanya sekedar anak tidak sengaja.
Cerpen Karangan: Monique Hartono
Facebook: Eunike Monique
repost: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/mimpi-6.html

Juara Pertama Yang Berkesan


Pagi ini, adalah hari pengambilan raport di salah satu SD yang berada di desa Sriwangi. Para wali murid telah berdatangan memadati halaman sekolah, untuk mengambilkan raport anaknya. Tak hanya orangtua, para pemuda juga hadir untuk mengambilkan raport saudara atau keponakannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada yang datang dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau bahkan menaiki kendaraan bermotor pun juga ada. Tak jarang dari mereka yang membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Terlihat berbagai kendaraan telah memadati lokasi parkiran. Beberapa dari mereka ada yang langsung bercengkerama setelah turun dari kendaraan. Ada juga yang bercengkerama sambil duduk di kendaraan mereka. Layaknya sudah saling mengenal satu sama lain. Namun ada pula yang langsung menuju warung terdekat untuk sekedar membeli makanan atau minuman.

Waktu sudah menjelang siang. Suasana pun semakin panas, karena keberadaan sang mentari semakin tinggi. Agar acara dapat segera dimulai, kepala sekolah menghimbau para wali murid untuk segera memasuki ruangan kelas yang telah disediakan. Sedangkan, siswa dan siswi menunggu di luar. Telah tersedia banyak meja dan kursi di ruangan tersebut. Mereka segera menempati tempat duduknya masing-masing. Acara pun dimulai. Beberapa patah kata sambutan, telah disampaikan oleh kepala sekolah. Tibalah saat pengumuman siapa yang akan menjadi juara kelas. Siswa dan siswi dibuat semakin tegang menunggu nama mereka dipanggil atau tidak. Jantung mereka berdebar kencang, serasa seperti mau copot saja. Namun tampaknya, wali murid mereka lebih tegang daripada mereka.

Pengumuman juara kelas dimulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Mereka yang namanya dipanggil, maju dengan didampingi oleh wali murid mereka. Namun ada sesuatu yang berbeda. Ketika salah seorang siswi yang bernama Rena dipanggil sebagai juara pertama kelas 5, dia maju seorang diri, sama sekali tak ada yang mendampinginya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Tapi yang jelas, kedua orangtuanya terlalu sibuk untuk mengambilkan raport anak bungsunya itu. Ibunya sedang mengambilkan raport kakaknya yang bersekolah di SMA. Sedangkan ayahnya, terlalu sibuk dengan dagangan motornya di rumah. Sempat terlintas di benaknya, mungkin ayahnya tidak ingin dipermalukan lagi. Sama halnya seperti ketika ayahnya mendatangi acara-acara sekolah kakaknya. Padahal, Rena dan kakaknya sangatlah berbeda.

Ini adalah kali pertama Rena mendapat juara pertama di kelasnya. Namun sangatlah disayangkan, kedua orangtuanya tak bisa hadir untuk mendampinginya. Tiba-tiba, ada seorang perempuan yang sedang menggendong anak laki-lakinya yang masih kecil, dia adalah bibi Rena. Saat di rumah, ibu Rena berpesan kepada bibi Rena untuk mengambilkan raport anaknya. Kebetulan, anak bibi Rena juga satu kelas dengan Rena. Tidak seperti anak-anak lain yang mendapat juara, mereka terlihat sangat senang dan bergembira. Namun, tak tampak kegembiraan sedikit pun dari wajah Rena. Sedih, senang, kecewa, semua tersimpan rapi di hatinya. Hanya senyum terpaksa yang terlihat darinya saat berfoto dengan bibinya.

Bel pertanda pulang telah berbunyi. Segera Rena mengambil sepedanya di parkiran. Perlahan Rena menaiki sepedanya, lalu mengayuhnya. Sepanjang jalan, ia hanya bisa memendam kesedihannya. Berulang kali ia berusaha mengusap air matanya. Namun selalu menetes. Baginya, ini adalah hal paling menyedihkan dalam hidupnya. Dan mungkin, akan terus tersimpan di memorinya. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumahnya. Ia segera menaruh sepedanya di samping rumah. Perlahan ia masuk ke rumah masih dengan perasaan sedihnya. Begitu ia membuka pintu, betapa terkejut dirinya. Saat mendapati ibunya datang dengan membawa kue ulang tahun bersama ayah dan kakaknya. Iya memang benar, hari ini adalah ulang tahun Rena yang ke-12 tahun. Raut wajah Rena berubah seketika menjadi sangat bahagia.

Cerpen Karangan: Ria Puspita Dewi
Facebook: Puspita Elfa
repost: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/juara-pertama-yang-berkesan.html

Monday, April 4, 2016

Mengapa Harus Lahir Baru (Teman Hidup)? (Jhon Bunyan)


Sangat banyak alasan bagi kita mengapa mencari pasangan hidup yang juga lahir baru. SUpaya bisa sama-sama mendukung dalam mendekatkan diri dengan Tuhan...

Tapi aku kemarin membaca buku kisah John Bunyan, dan ketika dia ditangkap karena memberitakan injil di Inggris, istrinya mengajukan banding untuk kebebasannya... mari kita baca...

*****
Pemahaman yang luar biasa tentang keyakinan-keyakinan Bunyan berasal dari catatan tentang permohonan banding yang dibuat istri keduanya, yang bernama Elisabeth Bunyan (meninggal pada tahun 1692), yang dinikahinya pada tahun 1959, dan yang menunjukkan sikap tenang karena keberanian yang luar biasa semasa pemenjaraan suaminya. Permohonan banding ini dibuat demi suaminya pada bulan Agustus tahun 1661. Permohonan banding ini juga merupakan catatan yang menceritakan kepada kita banyak hal mengenai kualitas kerohaniannya sendiri. sedikitnya ada tiga hakim yang hadir yang mendengar permohonan Elisabeth, yakni Matthew hale, seorang Kristen yang jelas-jelas bersimpati kepada Elisabeth, namun yang tidak setuju dengan ketetapan suaminya yang bersikeras untuk berkhotbah; Thomas Twisden, seorang yang kasar; Henry Chester. Kutipan berikut telah diterjemahkan ke dalam bahasa yang disederhanakan...

Hakim Chester: Yang mulia, Bunyan adalah seorang perusuh, tak orang yang seperti ini di negeri ini.
Hakim Twisden (kepada Elisabeth): Begini! Apakah suami anda bersedia berhenti berkhotbah? Jika ya, suruh dia datang.
Elizabeth: Yang Mulia, suami saya tidak berani berhenti berkhotbah selama ia masih bisa berbicara.
Hakim Twisden: Begini, ya! Apa gunanya jika kita meneruskan pembicaraan mengenai orang semacam ini? Haruskah ia (diperkenankan) berbuat sesuka hati? Dia itu perusak ketenangan.
Elizabeth: Dia sangat ingin hidup tenang dan mengikuti panggilannya, untuk menopang keluarganya. Lagipula yang mulia, saya punya empat anak yang belum mandiri, salah satu nya buta, dan kami tak punya dana untuk bertahan hidup kecuali bersandar pada kebaikan hati orang.
Hakim Hale: jadi Anda punya empat anak? Anda kelihatan masih terlalu muda untuk punya empat anak.
Elizabeth: Saya hanyalah ibu tiri bagi mereka, saya menikah dengan suami saya kurang dari dua tahun lalu. Memang, saya mengandung ketika suami saya mula-mula ditangkap, namun karena masih muda dan belum terbiasa dengan hal-hal semacam itu, karena harus cemas mendengar berita-berita, saya mengalami sakit bersalin, dan tetap begitu selama delapan hari, sehingga akhirnya saya melahirkan, tetapi sayang anak saya meninggal.
Hakim Hale: Astaga!! Wanita yang malang.
Hakim Twisden: Anda menyusahkan diri sendiri. Setahu saya, suami Anda lebih memilih mondar-mandir di negeri ini dengan berkhotbah daripada menjalankan pekerjaannya.
Hakim Hale: Apa pekerjaannya?
Seorang penonton: tukang solder yang mulia.
Elizabeth: Ya, dan karena ia adalah tukang solder dan orang miskin, itu sebabnya ia dihina dan tidak bisa mendapatkan keadilan.
Hakim Hale: Saya beritahu anda, inu, dengan melihat bahwa mereka telah menggunakan perkataan yang diucapkan oleh suami Anda senidiri sebagai dasar-dasardakwaan, Anda harusmengajukan permohonan kepada Raja sendiri, atau memohon pengampunan beliau, atau mendapatkan surat perintah pembebebasn karena dakwaan yang tidak benar.
Hakim Chester: yang Mulia, dia akan berkhotbah dan berbuat sesuka hatinya.
Elizabeth: Yang dia khotbahkan tak lain hanya Firman Allah.
Hakim Twisden: Orang itu menyampaikan Firman Allah. Dia mondar-mandir dan berbuat onar.
Elizabeth: Tidak, Yang mulia, Tidak. Tidak demikian, Allah memiliki dirinya dan melakukan banyak kebaikan melalui dirinya.
Hakim Twisden (dengan mengumpat): Doktrinnya adalah doktrin iblis.
Elizabeth: Yang Mulia, tatkala Hakim yang adil itu datang, barulah akan diketahui bahwa doktrinnya bukan doktrin iblis...
*****

Luar biasa bukan?
Itu adalah penggalan kisah istri Bunyan, yang tahu kalau suaminya tidak salah dalam memberitakan Injil...
Walau dia sudah menderita, tapi dia percaya itu bagiannya...

Salam Harjoshrian....

LIRIK LAGU TERBARU ROHAKKU - JUN MUNTHE