Tuesday, April 5, 2016

MIMPI...

Ada tiga alasan berbeda kenapa orang dapat menangis. Pertama, mereka merasakan sesuatu yang menyakitkan dan memberi emosi sehingga mereka terjatuh di titik terdalam mereka. Kedua, mereka yang merasakan sesuatu yang membangkitkannya dari ketenangan, sesuatu yang dapat memotivasi mereka, dan sesuatu yang menyentuh hati mereka. Yang ketiga, mereka yang sakit mata atau bahkan sedang menguap. Dari ketiga alasan tersebut, alasan kedua merupakan alasan yang sulit untuk diraih, mereka menyebutnya air mata kebahagiaan.

Saat ini, aku berdiri tegap menarik napas dan memejamkan mataku di tempat favoritku. Memulai memutar setiap kenangan yang telah ku lalui. Apalah arti kenangan jika kamu tidak memanfaatkannya untuk membuat ceritamu? Itu yang selalu menjadi pemikiranku. Aku mulai tersenyum ketika mengingat saat bahagia masa kecilku bersama kakakku. Kami memiliki perbedaan umur yang jauh. Kakakku sudah masuk kuliah ketika aku berusia enam tahun. Kak Bob, panggilan khususku untuknya -walaupun sebenarnya dia tidak menyukainya- setiap minggu saat dia pulang ke rumah, dia selalu mengajakku untuk pergi bermain. Aku kembali membuka mataku. Melihat gelapnya air yang ada di depanku, hanya ada cahaya bulan yang menemaniku. Keadaan sepi membuatku melihat sekeliling.

Aku mengambil handphone di kantong depan jaket hoodie biru yang ku pakai. Sebuah pesan singkat mengatakan untuk menunggu dirinya dan jangan berpindah dari tempatku sekarang. Aku tersenyum dan memasukkan handphone ke dalam kantong. Aku menatap lurus ke depan, menatap indah cahaya-cahaya bangunan yang masih berkelap-kelip di tengah kegelapan malam. Sesaat kemudian, kenangan kembali menemuiku. Kenangan ketika Kak Bob wisuda, kami sekeluarga sangat bahagia. Kak Ester, kakak keduaku saat itu tidak dapat ikut merayakannya karena sedang mengikuti pertunjukan balet di luar negeri selama beberapa minggu. Papa dan mama sangat bangga dengan Kak Ester dan Kak Bob, belum lagi setelah wisuda Kak Bob akan bekerja di salah satu perusahaan asing ternama. Aku yang belum tahu apa-apa hanya dapat ikut merayakannya.

Menjadi anak terakhir menjadi sebuah kebanggaan untukku sendiri. Aku dapat memamerkan kakak-kakakku dan setelah kedua kakakku tidak tinggal di rumah, semua perhatian beralih padaku. Ketika aku pulang dari sekolah, Kak Ester sudah terbaring di kasur, aku yang melihatnya menjadi sangat bersemangat karena aku merindukannya. Tetapi, sebelum sempat masuk ke kamarnya, Mama menutup pintu dan mengatakan untuk tidak mengganggunya. Beberapa bulan kemudian, aku tidak pernah melihat Kak Ester pergi ke sanggar baletnya lagi. Dia menjadi orang yang keras dengan orang di sekitarnya. Kak Bob masih sering mengajakku pergi ketika dia memiliki waktu luang. Aku bercerita tentang Kak Ester padanya. Dia sepertinya mengerti betul masalah Kak Ester karena dia tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum padaku. Kak Bob menyarankan untuk memberi Kak Ester hadiah yang mungkin dapat membuat keadaan hatinya lebih baik.

Aku memilih untuk memberinya kartu ucapan dengan foto dirinya yang sedang menari di satu sisinya. Butuh lima hari bagiku untuk membuatnya, aku cukup bangga dengan karya yang akan ku hadiahkan pada Kak Ester. Ketika Kak Ester baru pulang dari sekolah, aku memberikannya. Dia tersenyum dan memelukku. Air mata ke luar dari matanya dan kemudian menuju kamarnya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku tahu itu hal yang membuatnya sedih. Beberapa tahun kemudian, kami pindah rumah dan Kak Ester harus pergi ke luar kota untuk meneruskan pendidikannya. Kak Bob juga memulai membuka usahanya sendiri di kampung halaman kami. Aku sangat senang dengan keadaanku saat itu. Teman baru, rumah baru, suasana baru, dan tentunya aku menjadi anak tunggal secara tidak langsung. Kak Ester jarang menemui kami karena sibuk dan dia tidak mau mengeluarkan biaya untuk transportasi. Sebenarnya, Papa dan Mama sudah menawarkan untuk membiayainya, tapi sepertinya itu bukan prinsip Kak Ester.

Kak Bob mengunjungi kami sekali dalam tiga bulan. Usahanya sudah cukup maju untuk ditinggal berpergian. Bahkan ternyata diam-diam Kak Bob sudah memiliki kekasih, kabarnya bulan depan saat akan mengunjungi kami, dia akan memperkenalkan dengan Mama dan Papa. Suara beberapa orang yang sedang berjalan di belakangku membangunkanku dari mimpi kenangan. Aku menengok kanan dan kiri mencari sosoknya. Aku kembali melihat handphone dan jam menunjukkan pukul 22.49, aku kembali menarik napasku dan melihat ke langit yang kosong tanpa taburan bintang. Saat itulah kenangan buruk mulai menemaniku. Hari itu, Papa dan Mama terlihat bingung, mereka tidak menjawab setiap pertanyaan yang ku ajukan, tetapi aku tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres.

Rupanya Usaha Kak Bob mengalami penurunan drastis karena penipuan. Papa dan Mama berusaha mencari cara untuk membantu Kak Bob, tetapi usaha yang dilakukan sia-sia. Kak Bob kembali tinggal dengan kami, setiap hari dia mengurung diri di kamar dan mengatakan kalau dirinya tidak berguna. Beberapa bulan berikutnya, Kak Ester mengatakan kalau dia akan segera wisuda dan akan bekerja di luar negeri. Kak Bob yang mendengarnya merasa termotivasi dan mulai mencari pekerjaan. Dalam beberapa minggu berikutnya, Kak Bob mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan impiannya. Papa, Mama, aku, dan Kak Ester diundang untuk ikut merayakan diterimanya Kak Bob di perusahaan baru dan perginya Kak Ester dalam beberapa bulan lagi.

Kami menikmati makan malam bersama di salah satu restoran ternama di kawasan Jakarta Pusat. Tawa canda kami dapat terdengar hingga ke luar restoran. Kami sekeluarga sangat berbahagia saat itu. Hingga Mamaku berkata, “Haha.. Kalau bukan karena kamu Bobby sama Ester, mungkin Mama sama Papa tidak bisa makan enak seperti ini.” Aku tertegun, mungkin Mama melihatku masih kecil tetapi aku tahu betul arti kata itu. Mama terlihat sangat bangga dengan kedua kakakku. Aku sangat berharap suatu hari dia akan mengucapkan hal yang sama padaku. Tidak ku sadari Papa menatapku dengan tatapan khawatir. Aku menatapnya balik dan tersenyum lalu meneruskan memakan makanan yang disajikan. Kata-kata itu membuat hatiku tidak tenang. Aku merasa tidak dilihat di keluargaku. Aku merasa aku bukan siapa-siapa selain beban Papa dan Mama. Mungkin aku tersenyum, tetapi di hatiku aku mulai bingung dengan masa depanku.
Masa depan? Aku belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Setelah makan malam, Mama, Kak Ester, dan Kak Bob pergi untuk mencari perlengkapan yang dibutuhkan Kak Ester untuk tinggal di luar negeri. Sedangkan, aku dan Papa duduk di luar kafe sambil ditemani kue sebagai makanan penutup kami. Papa menanyakan keadaanku, aku tidak bisa menjawab dan hanya tersenyum -berharap itu dapat menjawab pertanyaan Papa- kemudian meminum teh hangat yang mengusir rasa kering di tenggorokanku. Papa memang tahu betul perasaanku, dibanding Mama aku memang lebih dekat dengan Papa. Selama ini pun yang selalu menyetujui pilihanku hanya Papa. Dia memberiku nasihat untuk lebih berani menentukan pilihan dan menyelesaikan pilihanku. Dia juga mengatakan aku harus mau bekerja keras untuk membanggakannya dan Mama.

Aku menutup mataku mengakhiri kenangan burukku. Aku tidak ingin mengingatnya lebih jauh. Biarkan kenangan buruk tersimpan dan kenangan baik menjadi cerita di kepalaku. Masih menunggu sosok yang sedari belum datang, aku mulai merasa jenuh dan memperbaiki hoodie yang ku pakai. Aku kembali meletakkan tanganku di pagar dan melihat ke bawah, air yang tenang memantulkan bayanganku. Aku ingat saat itu aku takut melihat diriku sendiri. Betul, ketakutan terbesarku adalah mengecewakan orang di sekitarku dengan sikapku yang keras kepala dan tidak ingin bekerja keras.
Banyak hal yang ku lalui, masa-masa pubertas yang membingungkan masa depanku yang masih belum diketahui tujuannya. Ya, aku berhasil melaluinya. Kemudian muncul masa-masa ketika aku tidak berani mencoba sesuatu yang baru, melihat kenangan itu membuatku malu dengan diriku sendiri. Aku tidak berani menatap diriku di depan kaca, karena aku tahu itu adalah kelemahanku. Banyak mimpi yang ingin ku raih, tetapi tidak ada satu pun yang tercapai hingga saat ini, aku berdiri di pinggiran sungai melihat bayangan diriku di pantulan air. Sekarang aku dapat bangga dengan diriku, bukan karena kesuksesan kakakku tetapi karena kesuksesanku.

“Adel, maaf Papah lama. Mamah di mobil tidak mau ikut ke luar, katanya di sini lebih dingin daripada di Indonesia, jadi dia tidak mau ke luar mobil.” Suara ayahku membangunkanku dari lamunanku.
“Tidak apa, Pah. Ayo, kita pulang.” Aku menggandeng tangan Papaku yang mulai dingin karena cuaca.
“Tadi bagaimana makan malamnya? Cukup romantis?”
“Iya, lumayan. Makasih ya, anak Papa yang satu ini memang berbeda dari yang lain.” Ejek ayahku.
“Iya, aku hanya ingin Papah sama Mamah nostalgia,” ejekku balik. Ketika aku memasukki mobil, Mama menyambutku dengan senang. Senyum tulusnya yang belum pernah ku lihat selama 25 tahun aku hidup dengannya. “Makasih ya Del, Mamah bangga sama kamu, sekarang Mamah sama Papah bisa sampai di sini karena kamu. Bahkan Mamah sama Papah bisa sampai berkeliling kota dan makan di restoran bintang karena kamu.”

Hatiku serasa berhenti berdetak, aku tersenyum dan air mata mengalir di pipiku. Aku yakin apa yang dikatakan Mamaku tulus dari hatinya. Aku yakin aku tidak salah dengar. Aku sudah menjadi salah satu permata di keluargaku. Sekarang, aku terlihat di antara kedua kakakku. Aku sudah menjadi anak yang membanggakan orangtuanya. “Kamu kenapa menangis?” Tanya Mama yang bingung dengan tangisanku. Aku menggeleng. Kini aku tahu betul apa mimpiku, dan aku sudah meraihnya dengan baik. Aku hanya ingin Mama dan Papa bangga dengan diriku yang selama ini hanya menjadi beban dan anak terakhir di keluarga. Aku hanya ingin membuktikan diriku ini dilahirkan untuk membanggakan orangtuaku, bukan hanya sekedar anak tidak sengaja.
Cerpen Karangan: Monique Hartono
Facebook: Eunike Monique
repost: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/mimpi-6.html

No comments:

LIRIK LAGU TERBARU ROHAKKU - JUN MUNTHE