Ada tiga alasan berbeda kenapa orang dapat menangis. Pertama, mereka
merasakan sesuatu yang menyakitkan dan memberi emosi sehingga mereka
terjatuh di titik terdalam mereka. Kedua, mereka yang merasakan sesuatu
yang membangkitkannya dari ketenangan, sesuatu yang dapat memotivasi
mereka, dan sesuatu yang menyentuh hati mereka. Yang ketiga, mereka yang
sakit mata atau bahkan sedang menguap. Dari ketiga alasan tersebut,
alasan kedua merupakan alasan yang sulit untuk diraih, mereka
menyebutnya air mata kebahagiaan.
Saat ini, aku berdiri tegap menarik napas dan memejamkan mataku di
tempat favoritku. Memulai memutar setiap kenangan yang telah ku lalui.
Apalah arti kenangan jika kamu tidak memanfaatkannya untuk membuat
ceritamu? Itu yang selalu menjadi pemikiranku. Aku mulai tersenyum
ketika mengingat saat bahagia masa kecilku bersama kakakku. Kami
memiliki perbedaan umur yang jauh. Kakakku sudah masuk kuliah ketika aku
berusia enam tahun. Kak Bob, panggilan khususku untuknya -walaupun
sebenarnya dia tidak menyukainya- setiap minggu saat dia pulang ke
rumah, dia selalu mengajakku untuk pergi bermain. Aku kembali membuka
mataku. Melihat gelapnya air yang ada di depanku, hanya ada cahaya bulan
yang menemaniku. Keadaan sepi membuatku melihat sekeliling.
Aku mengambil handphone di kantong depan jaket hoodie biru yang ku
pakai. Sebuah pesan singkat mengatakan untuk menunggu dirinya dan jangan
berpindah dari tempatku sekarang. Aku tersenyum dan memasukkan
handphone ke dalam kantong. Aku menatap lurus ke depan, menatap indah
cahaya-cahaya bangunan yang masih berkelap-kelip di tengah kegelapan
malam. Sesaat kemudian, kenangan kembali menemuiku. Kenangan ketika Kak
Bob wisuda, kami sekeluarga sangat bahagia. Kak Ester, kakak keduaku
saat itu tidak dapat ikut merayakannya karena sedang mengikuti
pertunjukan balet di luar negeri selama beberapa minggu. Papa dan mama
sangat bangga dengan Kak Ester dan Kak Bob, belum lagi setelah wisuda
Kak Bob akan bekerja di salah satu perusahaan asing ternama. Aku yang
belum tahu apa-apa hanya dapat ikut merayakannya.
Menjadi anak terakhir menjadi sebuah kebanggaan untukku sendiri. Aku
dapat memamerkan kakak-kakakku dan setelah kedua kakakku tidak tinggal
di rumah, semua perhatian beralih padaku. Ketika aku pulang dari
sekolah, Kak Ester sudah terbaring di kasur, aku yang melihatnya menjadi
sangat bersemangat karena aku merindukannya. Tetapi, sebelum sempat
masuk ke kamarnya, Mama menutup pintu dan mengatakan untuk tidak
mengganggunya. Beberapa bulan kemudian, aku tidak pernah melihat Kak
Ester pergi ke sanggar baletnya lagi. Dia menjadi orang yang keras
dengan orang di sekitarnya. Kak Bob masih sering mengajakku pergi ketika
dia memiliki waktu luang. Aku bercerita tentang Kak Ester padanya. Dia
sepertinya mengerti betul masalah Kak Ester karena dia tidak berkata
apa-apa dan hanya tersenyum padaku. Kak Bob menyarankan untuk memberi
Kak Ester hadiah yang mungkin dapat membuat keadaan hatinya lebih baik.
Aku memilih untuk memberinya kartu ucapan dengan foto dirinya yang
sedang menari di satu sisinya. Butuh lima hari bagiku untuk membuatnya,
aku cukup bangga dengan karya yang akan ku hadiahkan pada Kak Ester.
Ketika Kak Ester baru pulang dari sekolah, aku memberikannya. Dia
tersenyum dan memelukku. Air mata ke luar dari matanya dan kemudian
menuju kamarnya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku tahu
itu hal yang membuatnya sedih. Beberapa tahun kemudian, kami pindah
rumah dan Kak Ester harus pergi ke luar kota untuk meneruskan
pendidikannya. Kak Bob juga memulai membuka usahanya sendiri di kampung
halaman kami. Aku sangat senang dengan keadaanku saat itu. Teman baru,
rumah baru, suasana baru, dan tentunya aku menjadi anak tunggal secara
tidak langsung. Kak Ester jarang menemui kami karena sibuk dan dia tidak
mau mengeluarkan biaya untuk transportasi. Sebenarnya, Papa dan Mama
sudah menawarkan untuk membiayainya, tapi sepertinya itu bukan prinsip
Kak Ester.
Kak Bob mengunjungi kami sekali dalam tiga bulan. Usahanya sudah
cukup maju untuk ditinggal berpergian. Bahkan ternyata diam-diam Kak Bob
sudah memiliki kekasih, kabarnya bulan depan saat akan mengunjungi
kami, dia akan memperkenalkan dengan Mama dan Papa. Suara beberapa orang
yang sedang berjalan di belakangku membangunkanku dari mimpi kenangan.
Aku menengok kanan dan kiri mencari sosoknya. Aku kembali melihat
handphone dan jam menunjukkan pukul 22.49, aku kembali menarik napasku
dan melihat ke langit yang kosong tanpa taburan bintang. Saat itulah
kenangan buruk mulai menemaniku. Hari itu, Papa dan Mama terlihat
bingung, mereka tidak menjawab setiap pertanyaan yang ku ajukan, tetapi
aku tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres.
Rupanya Usaha Kak Bob mengalami penurunan drastis karena penipuan.
Papa dan Mama berusaha mencari cara untuk membantu Kak Bob, tetapi usaha
yang dilakukan sia-sia. Kak Bob kembali tinggal dengan kami, setiap
hari dia mengurung diri di kamar dan mengatakan kalau dirinya tidak
berguna. Beberapa bulan berikutnya, Kak Ester mengatakan kalau dia akan
segera wisuda dan akan bekerja di luar negeri. Kak Bob yang mendengarnya
merasa termotivasi dan mulai mencari pekerjaan. Dalam beberapa minggu
berikutnya, Kak Bob mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan
impiannya. Papa, Mama, aku, dan Kak Ester diundang untuk ikut merayakan
diterimanya Kak Bob di perusahaan baru dan perginya Kak Ester dalam
beberapa bulan lagi.
Kami menikmati makan malam bersama di salah satu restoran ternama di
kawasan Jakarta Pusat. Tawa canda kami dapat terdengar hingga ke luar
restoran. Kami sekeluarga sangat berbahagia saat itu. Hingga Mamaku
berkata, “Haha.. Kalau bukan karena kamu Bobby sama Ester, mungkin Mama
sama Papa tidak bisa makan enak seperti ini.” Aku tertegun, mungkin Mama
melihatku masih kecil tetapi aku tahu betul arti kata itu. Mama
terlihat sangat bangga dengan kedua kakakku. Aku sangat berharap suatu
hari dia akan mengucapkan hal yang sama padaku. Tidak ku sadari Papa
menatapku dengan tatapan khawatir. Aku menatapnya balik dan tersenyum
lalu meneruskan memakan makanan yang disajikan. Kata-kata itu membuat
hatiku tidak tenang. Aku merasa tidak dilihat di keluargaku. Aku merasa
aku bukan siapa-siapa selain beban Papa dan Mama. Mungkin aku tersenyum,
tetapi di hatiku aku mulai bingung dengan masa depanku.
Masa depan? Aku belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Setelah
makan malam, Mama, Kak Ester, dan Kak Bob pergi untuk mencari
perlengkapan yang dibutuhkan Kak Ester untuk tinggal di luar negeri.
Sedangkan, aku dan Papa duduk di luar kafe sambil ditemani kue sebagai
makanan penutup kami. Papa menanyakan keadaanku, aku tidak bisa menjawab
dan hanya tersenyum -berharap itu dapat menjawab pertanyaan Papa-
kemudian meminum teh hangat yang mengusir rasa kering di tenggorokanku.
Papa memang tahu betul perasaanku, dibanding Mama aku memang lebih dekat
dengan Papa. Selama ini pun yang selalu menyetujui pilihanku hanya
Papa. Dia memberiku nasihat untuk lebih berani menentukan pilihan dan
menyelesaikan pilihanku. Dia juga mengatakan aku harus mau bekerja keras
untuk membanggakannya dan Mama.
Aku menutup mataku mengakhiri kenangan burukku. Aku tidak ingin
mengingatnya lebih jauh. Biarkan kenangan buruk tersimpan dan kenangan
baik menjadi cerita di kepalaku. Masih menunggu sosok yang sedari belum
datang, aku mulai merasa jenuh dan memperbaiki hoodie yang ku pakai. Aku
kembali meletakkan tanganku di pagar dan melihat ke bawah, air yang
tenang memantulkan bayanganku. Aku ingat saat itu aku takut melihat
diriku sendiri. Betul, ketakutan terbesarku adalah mengecewakan orang di
sekitarku dengan sikapku yang keras kepala dan tidak ingin bekerja
keras.
Banyak hal yang ku lalui, masa-masa pubertas yang membingungkan masa
depanku yang masih belum diketahui tujuannya. Ya, aku berhasil
melaluinya. Kemudian muncul masa-masa ketika aku tidak berani mencoba
sesuatu yang baru, melihat kenangan itu membuatku malu dengan diriku
sendiri. Aku tidak berani menatap diriku di depan kaca, karena aku tahu
itu adalah kelemahanku. Banyak mimpi yang ingin ku raih, tetapi tidak
ada satu pun yang tercapai hingga saat ini, aku berdiri di pinggiran
sungai melihat bayangan diriku di pantulan air. Sekarang aku dapat
bangga dengan diriku, bukan karena kesuksesan kakakku tetapi karena
kesuksesanku.
“Adel, maaf Papah lama. Mamah di mobil tidak mau ikut ke luar,
katanya di sini lebih dingin daripada di Indonesia, jadi dia tidak mau
ke luar mobil.” Suara ayahku membangunkanku dari lamunanku.
“Tidak apa, Pah. Ayo, kita pulang.” Aku menggandeng tangan Papaku yang mulai dingin karena cuaca.
“Tadi bagaimana makan malamnya? Cukup romantis?”
“Iya, lumayan. Makasih ya, anak Papa yang satu ini memang berbeda dari yang lain.” Ejek ayahku.
“Iya, aku hanya ingin Papah sama Mamah nostalgia,” ejekku balik. Ketika
aku memasukki mobil, Mama menyambutku dengan senang. Senyum tulusnya
yang belum pernah ku lihat selama 25 tahun aku hidup dengannya. “Makasih
ya Del, Mamah bangga sama kamu, sekarang Mamah sama Papah bisa sampai
di sini karena kamu. Bahkan Mamah sama Papah bisa sampai berkeliling
kota dan makan di restoran bintang karena kamu.”
Hatiku serasa berhenti berdetak, aku tersenyum dan air mata mengalir
di pipiku. Aku yakin apa yang dikatakan Mamaku tulus dari hatinya. Aku
yakin aku tidak salah dengar. Aku sudah menjadi salah satu permata di
keluargaku. Sekarang, aku terlihat di antara kedua kakakku. Aku sudah
menjadi anak yang membanggakan orangtuanya. “Kamu kenapa menangis?”
Tanya Mama yang bingung dengan tangisanku. Aku menggeleng. Kini aku tahu
betul apa mimpiku, dan aku sudah meraihnya dengan baik. Aku hanya ingin
Mama dan Papa bangga dengan diriku yang selama ini hanya menjadi beban
dan anak terakhir di keluarga. Aku hanya ingin membuktikan diriku ini
dilahirkan untuk membanggakan orangtuaku, bukan hanya sekedar anak tidak
sengaja.
Cerpen Karangan: Monique Hartono
Facebook: Eunike Monique
repost: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/mimpi-6.html
Tuesday, April 5, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Mungkin banyak yang kebingungan dalam batas membangun apakah menyalahi aturan atau tidak, seperti tinggal di pinggir sungai. Untuk itu ...
-
Klasifikasi belalang hijau : Kingdom Animalia Linnaeus, 1758 Phylum Arthropoda Latreille, 1829 Class Insecta Linnaeus, 1758 Order Orth...
-
Dari aku kecil, aku sering bertanya dalam hatiku, kenapa hari ini hujan dan petir, padahal tadi cerah dan panas... Entah masuk akal ata...
No comments:
Post a Comment