Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen mahkluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat benefit cost maupun non benefit cost,namun dalam upaya untuk memaksimalkan fungsi hutan terkadang muncul faktor – faktor yang dapat menjadi pembaras tercapinya fungsi dan manfaat hutan secara optimal.
Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secaramaksimal sebagai akibat dari ekploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup (Marsono, 2004).
Mengingat tinggi dan pentingya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas dan pelestarian serta perlindungan hutan sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mempertahankan produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Marsono, 2004).
Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan atau pembinaan hutan harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dalam rangka melindungi hutan berikut komponen yang ada di dalamnya dari berbagai macam faktor penyebab kerusakan. Hutan jika ditinjau dari aspek kesehatannya terbagi atas tiga komponen yakni dari sisi pemanfaatan yakni pada tegakan hutan, lingkungan yakni terhadap sebuah komunitasdan kesehatan ekosistem yang lebih menjurus kepada masalah Landscape.
Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar ini merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru – paru kota , insan pendidikan sebagai media pembelajaran alamiah ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh lewat kehadiran kawasan Hutan wanagama ini, maka upaya untuk mempertahankan fungsi dan peran kawasan ini harus terus dilakukan. Namun dalam pengelolaanya banyak faktor-faktor yang menjadi pembatas tercapainya produktivitas dan perlindungan hutan secara maksimal, salah satu faktor penyebab dimaksud adalah kehadiran agen-agen hayati sebagai penyebab timbulnya hama ataupun penyakit hutan yang dapat menyerang pohon-pohon yang ada dalam kawasan hutan Wanagama.
Eucalyptus pellita dan Jati (Tectona grandis) yang saat ini mencapai ratusan pohon dalam kawasan Hutan Wanagama telah menjadi salah satu jenis tanaman yang penting dalam pembangunan hutan di Indonesia khususnya untuk jenis hutan tanaman baik untuk keperluan industri maupun pendidikan dan penelitian dimana sejak akhir tahun 1980-an. Kedua jenis ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan warga masyarakat akan kayu di pasaran karena kemampuan adaptasi yang tinggi terutama pada tanah-tanah marginal bekas padang alang-alang (Imperata cylindrica) seperti di daerah Wanagama, pertumbuhannya cepat, bentuk pohon bagus, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, kayunya memiliki sifat-sifat yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas, untuk pertukangan, konstruksi ringan dan teknik silvikulturnya mudah. Walaupun Eucalyptus pellita dan Tectona grandis mempunyai berbagai macam kelebihan namun di sisi lain kedua jenis ini tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit, yang disebabkan oleh serangga, virus, atupun jamur. Saat ini dalam Kawasan Hutan Wanagama ditemukan hampir sebagian besar tegakan Jati dan Eucalyptus telah mengalami penurunan kwalitas tegakan yang cukup besar, hal ini ditandai dengan adanya kerusakan, kematian ataupun perubahan penampakan fisik beberapa tegakan dalam plot – plot penananam dari pucuk daun hingga akar pohon yang disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab baik faktor biotic maupun abiotik. Salah satu faktor penyebab yang dicurigai sebagai faktor pembatas menurunnya kwalitas tegakan Jati dan Eucalyptus adalah kehadiran organisme perusak dan agen – agen penyebab penyakit pohon. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pencegahan awal ataupun pengendalian terstrktur terhadap kehadiran agen – agen penyebab kerusakan tegakan hutan adalah dengan melakukan tindakan monitoring terhadap tingkat kesehatan tegakan hutan sehingga sedini mungkin dapat dicari alternatif pencegahan ataupun pengendalian terhadap kondisi yang terjadi pada tegakan melalui tindakan monitoring pengamatan, pengidentifikasian dan penilai tipe kerusakan, lokasi kerusakan dan tingkat keparahannya.(Sumardi.Widyastuty, 2004)
Kimmins (1997) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) menekankan bahwa hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-faktor biotik dan abiotik dalam hutan tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan pengelolaan hutan saat ini maupun masa akan datang. Kondisi hutan sehat ditandai oleh adanya pohon-pohon yang tumbuh subur dan produktif, akumulasi biomasa dan siklus hara cepat, tidak terjadi kerusakan signifikan oleh organisme pengganggu tumbuhan, serta membentuk ekosistem yang khas.
Kelompok yang menekankan aspek lingkungan (Environmental) berpendapat bahwa ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya rumpang yang terbentuk karena matinya pohon. Sedangkan kelompok yang mendalami ekologi (ecosystem centered) mengemukakan bahwa ekosistem hutan yang sehat tercapai bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), pendapat para ahli tentang kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah antara keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat perbedaan yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi suatu tegakan dalam hubungannya dengan manfaat yang diperoleh.
Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), pada masa lalu, program-program pengelolaan kesehatan berasumsi bahwa masalah dianggap ada ketika agens kerusakan menimbulkan kerugian ekonomi yang berarti. Program kesehatan diarahkan untuk menurunkan laju reproduksi dan meningkatkan kematian organisme pengganggu tumbuhan dan dalam jangka panjang mengurangi ledakan organisme tersebut.
Dewasa ini pengelolaan kesehatan hutan didefinisikan sebagai upaya memadukan pengetahuan tentang ekosistem, dinamikapopulasi dan genetika organisme pengganggu tumbuhan dengan pertimbangan ekonomi untuk menjaga agar resiko kerusakan berada di bawah ambang kerugian. Dengan kata lain pengelolaan kesehatan hutan secara modern berusaha untuk mengendalikan kerusakan tetap di bawah ambang ekonomi yang masih dapat diterima. Intensitas pengendalian diperlukan jika kerusakan sudah di atas ambang ekonomi dan jumlah biaya yang dikeluarkan tergantung dari tujuan pengelolaan dan besarnya kerugian yang terjadi.
Kerusakan atau kerugianyang disebabkan oleh patogen, serangga, polusi udara dan kondisi alamiah lain serta aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Kerusakan yang disebabkan oleh agen-agen ini, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan, dengan nyata mempengaruhi kesehatan hutan. Identifikasi tanda dan gejala dari kerusakan yang terjadi merupakan informasi yang berharga yang diperhatikan dari kondisi hutan dan indikasi yang mungkin menyebabkan penyimpangan dari kondisi yang diharapkan. Untuk monitoring kesehatan hutan, tanda-tanda dan gejala-gejala kerusakan dicatat, didefenisikan, apakah kerusakan dapat mematikan pohon atau memberi pengaruh jangka panjang terhadap kemampuan bertahan dari pohon.
Defenisi dari kerusakan ini dikembangkan untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kemampuan mengulang dari pengukuran. Hanya kategori-kategori kerusakan yang dapat mematikan pohon atau mempengaruhi kemampuan bertahan dari pohon dalam jangka panjang yang dicatat. Penyebab kerusakan yang tidak dicatat memberikan variasi diantara penaksiran. Penempatan kategori kerusakan yang diprioritaskan didasarkanpada menghilangkan ketidak pastian berkaitan dengan perkiraan pengamat. Ambang batas minimum dan keparahan ada untuk kategori kerusakan yang sesuai.
Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan atau cacat yang dimaksud dalam penilaian ini adalah segala macam kerusakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi.
Tipe kerusakan biasanya sangat spesifikdan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik pula. Kanker pada bagian batang memberikan risiko kerusakan lebih tinggi dibanding dengan kerusakan oleh pembengkokan batang Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk.
Batang pokok merupakan lokasi yang mempunyai nilai kerusakan lebih tinggi dibanding bagian tanaman yang lain, makin dekat dengan permukaan tanah nilai kerusakan lebih tinggi.
Keparahan merupakan faktor lain yang menentukan nilai penting suatu kerusakan dan batas minimalnya ditentukan berdasarkan atas proporsi bagian tanaman yang rusak. Kanker batang yang lebar luka terbesarnya lebih dari 20% lingkar batang tempat kanker terjadi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya.
Berdasarkan Forest Health Monitoring Field Methods Guide(1995), ada 7 (tujuh) indicator utama yang digunakan dalam menilai kesehatan hutan, yaitu Nilai hutan, Klasifikasi Kondisi Tajuk, Penentuan Kerusakan dan Kematian, Radiasi Aktif Fotosintesis, Struktur Vegetasi, Jenis-jenis Tanaman Bioindikator Ozon, dan Komunitas Lumut Kerak, dimana metode, standar ukurandan jaminan mutunya telah ditetapkan untuk masing-masing indicator. Namun dalam praktikum ini, yang dipantau hanyalah tingkat kerusakan dan kematian pada tegakan di kebun benih ini. Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997 dalamSumardi dan Widyastuti, 2004) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut.
Kerusakan pohon dalam hutan dapat terjadi karena aktivitas patogen, serangga atau factor alami, termasuk aktivitas manusia. Kerusakan ini pada batas tertentu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon dalam hutan dan secara keseluruhan dapat mempengaruhi kesehatan hutan.
Dalam pengelolaan hutan masa kini dan masa depan, informasi tentang kerusakan hutan sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kondisi hutan. Selain itu, informasi kerusakan hutan ini juga dapat digunakan untuk menilai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari kondisi yang diharapkan.
Dalam pemantauan kondisi kesehatan hutan, kerusakan-kerusakan yang diperhitungkan adalah kerusakan yang mematikan pohon atau yang mempengaruhi pertumbuhan pohon selanjutnya dalam jangka panjang. Standar penggolongan untuk menilai kerusakan diperlukan agar data yang diperoleh dapat ditelaah dan bermakna.
Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi. Tipe kerusakan biasanya sangat spesifik dan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik juga. Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk. Batang pokok mempunyai nilai kerusakan yang lebih tinggi disbanding bagian tanaman yang lain. Kelas keparahan dan batas minimum ditentukan sesuai dengan jenis kerusakan yang dinilai dan ditentukan berdasarkan proporsi bagian tanaman yang rusak.. Kematian pohon oleh kebakaran, angin, penebangan, kumbang penggerek kayu atau sebab lainnya dapat saja terjadi, walaupun tanda-tandanya tidak nampak. Perkiraan sebab kematian dan lama waktu kematian dapat terjadi merupakan informasi berharga bagi telaah selanjutnya. ( Sumardi,Widyastuti,2004).
Salam harjoshrian...
Sumber: www.irwantoshut.com pdf
Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secaramaksimal sebagai akibat dari ekploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup (Marsono, 2004).
Mengingat tinggi dan pentingya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas dan pelestarian serta perlindungan hutan sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mempertahankan produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Marsono, 2004).
Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan atau pembinaan hutan harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dalam rangka melindungi hutan berikut komponen yang ada di dalamnya dari berbagai macam faktor penyebab kerusakan. Hutan jika ditinjau dari aspek kesehatannya terbagi atas tiga komponen yakni dari sisi pemanfaatan yakni pada tegakan hutan, lingkungan yakni terhadap sebuah komunitasdan kesehatan ekosistem yang lebih menjurus kepada masalah Landscape.
Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar ini merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru – paru kota , insan pendidikan sebagai media pembelajaran alamiah ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh lewat kehadiran kawasan Hutan wanagama ini, maka upaya untuk mempertahankan fungsi dan peran kawasan ini harus terus dilakukan. Namun dalam pengelolaanya banyak faktor-faktor yang menjadi pembatas tercapainya produktivitas dan perlindungan hutan secara maksimal, salah satu faktor penyebab dimaksud adalah kehadiran agen-agen hayati sebagai penyebab timbulnya hama ataupun penyakit hutan yang dapat menyerang pohon-pohon yang ada dalam kawasan hutan Wanagama.
Eucalyptus pellita dan Jati (Tectona grandis) yang saat ini mencapai ratusan pohon dalam kawasan Hutan Wanagama telah menjadi salah satu jenis tanaman yang penting dalam pembangunan hutan di Indonesia khususnya untuk jenis hutan tanaman baik untuk keperluan industri maupun pendidikan dan penelitian dimana sejak akhir tahun 1980-an. Kedua jenis ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan warga masyarakat akan kayu di pasaran karena kemampuan adaptasi yang tinggi terutama pada tanah-tanah marginal bekas padang alang-alang (Imperata cylindrica) seperti di daerah Wanagama, pertumbuhannya cepat, bentuk pohon bagus, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, kayunya memiliki sifat-sifat yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas, untuk pertukangan, konstruksi ringan dan teknik silvikulturnya mudah. Walaupun Eucalyptus pellita dan Tectona grandis mempunyai berbagai macam kelebihan namun di sisi lain kedua jenis ini tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit, yang disebabkan oleh serangga, virus, atupun jamur. Saat ini dalam Kawasan Hutan Wanagama ditemukan hampir sebagian besar tegakan Jati dan Eucalyptus telah mengalami penurunan kwalitas tegakan yang cukup besar, hal ini ditandai dengan adanya kerusakan, kematian ataupun perubahan penampakan fisik beberapa tegakan dalam plot – plot penananam dari pucuk daun hingga akar pohon yang disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab baik faktor biotic maupun abiotik. Salah satu faktor penyebab yang dicurigai sebagai faktor pembatas menurunnya kwalitas tegakan Jati dan Eucalyptus adalah kehadiran organisme perusak dan agen – agen penyebab penyakit pohon. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pencegahan awal ataupun pengendalian terstrktur terhadap kehadiran agen – agen penyebab kerusakan tegakan hutan adalah dengan melakukan tindakan monitoring terhadap tingkat kesehatan tegakan hutan sehingga sedini mungkin dapat dicari alternatif pencegahan ataupun pengendalian terhadap kondisi yang terjadi pada tegakan melalui tindakan monitoring pengamatan, pengidentifikasian dan penilai tipe kerusakan, lokasi kerusakan dan tingkat keparahannya.(Sumardi.Widyastuty, 2004)
KESEHATAN HUTAN
Kelompok yang menekankan aspek lingkungan (Environmental) berpendapat bahwa ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya rumpang yang terbentuk karena matinya pohon. Sedangkan kelompok yang mendalami ekologi (ecosystem centered) mengemukakan bahwa ekosistem hutan yang sehat tercapai bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), pendapat para ahli tentang kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah antara keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat perbedaan yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi suatu tegakan dalam hubungannya dengan manfaat yang diperoleh.
Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), pada masa lalu, program-program pengelolaan kesehatan berasumsi bahwa masalah dianggap ada ketika agens kerusakan menimbulkan kerugian ekonomi yang berarti. Program kesehatan diarahkan untuk menurunkan laju reproduksi dan meningkatkan kematian organisme pengganggu tumbuhan dan dalam jangka panjang mengurangi ledakan organisme tersebut.
Dewasa ini pengelolaan kesehatan hutan didefinisikan sebagai upaya memadukan pengetahuan tentang ekosistem, dinamikapopulasi dan genetika organisme pengganggu tumbuhan dengan pertimbangan ekonomi untuk menjaga agar resiko kerusakan berada di bawah ambang kerugian. Dengan kata lain pengelolaan kesehatan hutan secara modern berusaha untuk mengendalikan kerusakan tetap di bawah ambang ekonomi yang masih dapat diterima. Intensitas pengendalian diperlukan jika kerusakan sudah di atas ambang ekonomi dan jumlah biaya yang dikeluarkan tergantung dari tujuan pengelolaan dan besarnya kerugian yang terjadi.
MONITORING KESEHATAN TEGAKAN
Kerusakan atau kerugianyang disebabkan oleh patogen, serangga, polusi udara dan kondisi alamiah lain serta aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Kerusakan yang disebabkan oleh agen-agen ini, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan, dengan nyata mempengaruhi kesehatan hutan. Identifikasi tanda dan gejala dari kerusakan yang terjadi merupakan informasi yang berharga yang diperhatikan dari kondisi hutan dan indikasi yang mungkin menyebabkan penyimpangan dari kondisi yang diharapkan. Untuk monitoring kesehatan hutan, tanda-tanda dan gejala-gejala kerusakan dicatat, didefenisikan, apakah kerusakan dapat mematikan pohon atau memberi pengaruh jangka panjang terhadap kemampuan bertahan dari pohon.
Defenisi dari kerusakan ini dikembangkan untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kemampuan mengulang dari pengukuran. Hanya kategori-kategori kerusakan yang dapat mematikan pohon atau mempengaruhi kemampuan bertahan dari pohon dalam jangka panjang yang dicatat. Penyebab kerusakan yang tidak dicatat memberikan variasi diantara penaksiran. Penempatan kategori kerusakan yang diprioritaskan didasarkanpada menghilangkan ketidak pastian berkaitan dengan perkiraan pengamat. Ambang batas minimum dan keparahan ada untuk kategori kerusakan yang sesuai.
PENILAIAN KESEHATAN HUTAN
Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan atau cacat yang dimaksud dalam penilaian ini adalah segala macam kerusakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi.
Tipe kerusakan biasanya sangat spesifikdan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik pula. Kanker pada bagian batang memberikan risiko kerusakan lebih tinggi dibanding dengan kerusakan oleh pembengkokan batang Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk.
Batang pokok merupakan lokasi yang mempunyai nilai kerusakan lebih tinggi dibanding bagian tanaman yang lain, makin dekat dengan permukaan tanah nilai kerusakan lebih tinggi.
Keparahan merupakan faktor lain yang menentukan nilai penting suatu kerusakan dan batas minimalnya ditentukan berdasarkan atas proporsi bagian tanaman yang rusak. Kanker batang yang lebar luka terbesarnya lebih dari 20% lingkar batang tempat kanker terjadi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya.
Berdasarkan Forest Health Monitoring Field Methods Guide(1995), ada 7 (tujuh) indicator utama yang digunakan dalam menilai kesehatan hutan, yaitu Nilai hutan, Klasifikasi Kondisi Tajuk, Penentuan Kerusakan dan Kematian, Radiasi Aktif Fotosintesis, Struktur Vegetasi, Jenis-jenis Tanaman Bioindikator Ozon, dan Komunitas Lumut Kerak, dimana metode, standar ukurandan jaminan mutunya telah ditetapkan untuk masing-masing indicator. Namun dalam praktikum ini, yang dipantau hanyalah tingkat kerusakan dan kematian pada tegakan di kebun benih ini. Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997 dalamSumardi dan Widyastuti, 2004) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut.
Kerusakan pohon dalam hutan dapat terjadi karena aktivitas patogen, serangga atau factor alami, termasuk aktivitas manusia. Kerusakan ini pada batas tertentu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon dalam hutan dan secara keseluruhan dapat mempengaruhi kesehatan hutan.
Dalam pengelolaan hutan masa kini dan masa depan, informasi tentang kerusakan hutan sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kondisi hutan. Selain itu, informasi kerusakan hutan ini juga dapat digunakan untuk menilai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari kondisi yang diharapkan.
Dalam pemantauan kondisi kesehatan hutan, kerusakan-kerusakan yang diperhitungkan adalah kerusakan yang mematikan pohon atau yang mempengaruhi pertumbuhan pohon selanjutnya dalam jangka panjang. Standar penggolongan untuk menilai kerusakan diperlukan agar data yang diperoleh dapat ditelaah dan bermakna.
Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi. Tipe kerusakan biasanya sangat spesifik dan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik juga. Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk. Batang pokok mempunyai nilai kerusakan yang lebih tinggi disbanding bagian tanaman yang lain. Kelas keparahan dan batas minimum ditentukan sesuai dengan jenis kerusakan yang dinilai dan ditentukan berdasarkan proporsi bagian tanaman yang rusak.. Kematian pohon oleh kebakaran, angin, penebangan, kumbang penggerek kayu atau sebab lainnya dapat saja terjadi, walaupun tanda-tandanya tidak nampak. Perkiraan sebab kematian dan lama waktu kematian dapat terjadi merupakan informasi berharga bagi telaah selanjutnya. ( Sumardi,Widyastuti,2004).
Salam harjoshrian...
Sumber: www.irwantoshut.com pdf
No comments:
Post a Comment