BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non-hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan dan non-hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non-hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia (Syaufina, 2008).
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab dari musnahnya hutan secara cepat, padahal suksesi secara alami yang diharapkan untuk mengembalikan hutan ke asalnya sangat memerlukan waktu yang lama. Kebakaran hutan yangterjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan ekosistem dunia dan manusia. Pada dasarnya penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 99% karena ulah manusia baik sengaja maupun tidak sengaja (unsur kelalaian) yaitu kegiatan konversi lahan, perladangan berpindah, pertanian, proyek transmigrasi dan dari alam yang bermula dari proses reaksi cepat dari oksigen dengan bahan bakar yang ada di hutan dan ditandai dengan meningkatnya suhu dan disertai dengan menyalanya api (Chandler dkk.,1983).
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi masalah tahunan yang serius di Indonesia terutama Provinsi Riau dan beberpa Provinsi di Kalimantan, yang terjadi pada musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada daerah kejadian saja, tetapi juga berdampak kepada negara tetangga (Nasution dkk., 2013).
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak bagi kehidupan manusia, antara lain mengakibatkan: (1) emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global; (2) hilangnya habitat bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem; (3) hilangnya pepohonan yang merupakan penghasil oksigen serta penyerap air hujan sehingga terjadi bencana banjir, longsor, dan kekeringan; (4) hilangnya bahan baku industri yang akan berpengaruh pada perekonomian; (5) berkurangnya luasan hutan yang akan berpengaruh pada iklim mikro (cuaca cenderung panas); (6) polusi asap sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan menimbulkan berbagai penyakit pernafasan; dan (7) penurunan jumlah wisatawan (Qodriyatun, 2014).
Pengendalian kebakaran hutan secara umum dilakukan melalui upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran yang dilakukan di tingkat nasional hingga tingkat kesatuan pengelolaan hutan. Upaya pencegahan kebakaran dilakukan melalui kampanye penyadaran masyarakat; peningkatan teknologi pencegahan, seperti peringatan dan pencegahan kebakaran hutan, seperti embung, green belt, menara pengawas, dan lainnya; serta pemantapan perangkat lunak. Upaya pemadaman kebakaran hutan dilakukan melalui peningkatan teknologi pemadaman, operasi pemadaman (pemadaman dini dan pemadaman lanjut), serta penyelamatan dan evakuasi. Sedangkan upaya penanganan pasca kebakaran dilakukan dengan monitoring, evaluasi, dan inventarisasi hutan bekas kebakaran; sosialisasi dan penegakan hukum; dan rehabilitiasi.
Seiring dengan tekanan populasi yang semakin tinggi, migrasi, perkembangan ekonomi dan pertanian skala luas ternyata telah menciptakan permasalahan – permasalahan kebakaran yang hebat, seperti : meluasnya api, perusakan hutan yang cepat, dan polusi asap. Permasalahan tersebut dapat dikurangi dengan sistem pengelolaan kebakaran yang efektif, melalui peningkatan kepedulian publik, tindakan preventif maupun supresif. Salah satu informasi penting yang perlu disediakan dalam sistem manajemen kebakaran adalah pengetahuan tentang perilaku api. Perilaku api, telah pula digunakan di beberapa negara maju sebagai parameter untuk memprediksi kondisi kebakaran hutan dan lahan yang terkait dengan kegiatan pengendalian, baik pencegahan maupun pemadaman kebakaran hutan dan lahan (Setyaningsih, 2006).
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Perilaku Api” ini adalah untuk mengetahui defenisi dan parameter perilaku api, pola penjalaran kebakaran dan tipe kebakaran hutan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku api.
BAB II
PEMBAHASAN
Defenisi dan Parameter Perilaku Api
Perilaku api didefinisikan oleh Perry (1990) dalam Syaufina (2008) sebagai cara api berkembang, yakni bagaimana bahan bakar menyala, perkembangan api dan penjalaran api. Perilaku api dan ketersediaan bahan bakar pada suatu area merupakan informasi penting yang perlu disediakan untuk menunjang sistem pengelolaan kebakaran hutan dan lahan. Sementara itu, bahan bakar merupakan salah satu faktor lingkungan, selain faktor cuaca dan topografi, yang dapat mempengaruhi pola atau perilaku api yang terbentuk pada suatu area tertentu. Secara umum, bahan bakar yang tersedia akan menentukan ketersediaan energi maksimum untuk terbakar.
Parameter perilaku api merupakan respon api terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan mengetahui parameter perilaku api adalah untuk dapat memprediksi kondisi kebakaran hutan dan lahan yang terkait dengan kegiatan pengendalian, baik pencegahan maupun pemadaman kebakaran. Menurut Syaufina (2008) berikut adalah parameter perilaku api :
1. Tinggi Nyala Api
Tinggi nyala api dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi tinggi pohon atau tegakan yang terbakar, muatan bahan bakar, kadar air bahan bakar, serta kecepatan dan arah angin. Pada kebakaran tegakan hutan atau tanaman, tinggi nyala api dapat diukur atau diprediksi dari tinggi pohon yang terbakar, sementara pada percobaan pembakaran dapat diukur dengan meletakkan tonggak kayu/besi yang skala tingginya diberi tanda.
Tinggi nyala api dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi tinggi pohon atau tegakan yang terbakar, muatan bahan bakar, kadar air bahan bakar, serta kecepatan dan arah angin. Pada kebakaran tegakan hutan atau tanaman, tinggi nyala api dapat diukur atau diprediksi dari tinggi pohon yang terbakar, sementara pada percobaan pembakaran dapat diukur dengan meletakkan tonggak kayu/besi yang skala tingginya diberi tanda.
2. Intensitas Api
Intensitas api merupakan laju pada saat kebakaran menghasilkan energi termal (panas) dan selalu dintyatakan dalam panas (kalori) atau daya (watt). Nyala api adalah gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya yang ditimbulkannya. Warna dari nyala api ditentukan oleh bahan-bahan yang bereaksi (terbakar).
3. Laju Penjalaran Api
Intensitas api merupakan laju pada saat kebakaran menghasilkan energi termal (panas) dan selalu dintyatakan dalam panas (kalori) atau daya (watt). Nyala api adalah gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya yang ditimbulkannya. Warna dari nyala api ditentukan oleh bahan-bahan yang bereaksi (terbakar).
3. Laju Penjalaran Api
Laju penjalaran api diukur dari setiap titik pada perimeter api dengan arah tegak lurus terhadap perimeter api tersebut. Laju penjalaran api ini bervariasi dengan perubahan kondisi dan biasanya merupakan nilai rata-rata pada periode waktu tertentu. Laju penjalaran api terkait erat dengan kondisi bahan bakar, termasuk kadar air dan tipe bahan bakar juga berhubungan erat dengan topografi dan angin. Berdasarkan penelitian Donna (2006) cara mengukur laju penjalaran api dapat dilakukan dengan memasang kayu yang dipancangkan pada setiap 1 m di sisi plot. Laju penjalaran api dihitung dengan merata-ratakan jarak yang ditempuh muka api per menit.
Keterangan: X = pancang kayu
= arah angin
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api
1. Iklim/ Cuaca
Cuaca mempengaruhi kebakaran hutan, yaitu menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flammabilitas dari bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Kelembaban dan temperatur dapat mempengaruhi kadar air bahan bakar, mengurangi nyala api, pembakaran dan penjalaran api. Proses pembakaran akan bertahan pada kelembaban udara yang kurang dari 65 % (Syaufina, 2008).
a. Suhu
Suhu udara tergantung dari intensitas panas / penyinaran matahari. Areal
dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering sehingga rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004).
Suhu udara tergantung dari intensitas panas / penyinaran matahari. Areal
dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering sehingga rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004).
b. Kelembaban Udara dan Curah Hujan
Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim kebakaran karena berkaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan berhubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah, kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara disekitarnya. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering. Selama musim kemarau, kelembaban udara yang rendah juga mempengaruhi kadar air bahan bakar hidup. Uap air yang akhirnya turun sebagai hujan akan meningkatkan kadar air dari bahan bakar mati (Darwo, 2009).
Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim kebakaran karena berkaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan berhubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah, kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara disekitarnya. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering. Selama musim kemarau, kelembaban udara yang rendah juga mempengaruhi kadar air bahan bakar hidup. Uap air yang akhirnya turun sebagai hujan akan meningkatkan kadar air dari bahan bakar mati (Darwo, 2009).
c. Angin
Angin menentukan arah menjalarnya api, menurut Suratmo (1985) dalam Darwo (2009) angin juga mempengaruhi kecepatan dan percepatan terjadinya kebakaran hutan. Angin menentukan arah dari menjalarnya api dan berkorelasi positif dengan menjalarnya api, selain itu api juga dapat mengurangi kadar air bahan bakar. Clar dan Chatten (1954) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa dengan adanya angin maka persediaan oksigen tercukupi dan memberikan tekanan untuk memindahkan panas dan api serta mengeringkan bahan bakar melalui penguapan.
Angin menentukan arah menjalarnya api, menurut Suratmo (1985) dalam Darwo (2009) angin juga mempengaruhi kecepatan dan percepatan terjadinya kebakaran hutan. Angin menentukan arah dari menjalarnya api dan berkorelasi positif dengan menjalarnya api, selain itu api juga dapat mengurangi kadar air bahan bakar. Clar dan Chatten (1954) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa dengan adanya angin maka persediaan oksigen tercukupi dan memberikan tekanan untuk memindahkan panas dan api serta mengeringkan bahan bakar melalui penguapan.
Pada penelitian Bahri (2002) penyebaran api dari kebaran yang terjadi di Wilayah Sumatera bagian Selatan disebabkan oleh tiupan angin karena kondisi udara di lapisan atmosfer atas sangat stabil dan cenderung bergerak turun, maka angin di lapisan bawah dekat permukaan tidak mampu naik pengunungan Sumatera Utara dan kota Medan. Akibat dari semua mekanisme ini, akan membuat kebakaran kecil menjadi kebakaran besar, menyebabkan api bergerak tidak terduga serta membahayakan dan menyulitkan usaha pemadaman.
2. Topografi
2. Topografi
Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1994). Darwo (2009) menyatakan bahwa api akan menjalar lebih cepat apabila menaiki lereng dan akan lebih lambat jika menuruni lereng. Hal ini dikarenakan bahan bakar bagian atas lebih cepat panas.
3. Jarak dari Pemukiman
Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk memiliki kategori sangat penting sehingga peubah jalan dan pemukiman penduduk digunakan sebagai peubah penyebab kebakaran untuk menentukan pengaruh aktivitas manusia. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006).
4. Waktu
Menurut Saharjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20o C dan kelembaban relative yang tinggi yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30–35o C dan kelembaban relative 70-80% sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
5. Bahan Bakar
Intensitas kebakaran ditentukan oleh jumlah energi yang tersimpan di dalam bahan bakar, susunan bahan bakar dapat mempengaruhi aerasi dan penjalaran api secara vertikal dan horizontal, distribusi ukuran bahan bakar dapat mempengaruhi api yang menyala dan kandungan bahan kimia bahan bakar dapat mempengaruhi flammabilitas (kemudahan untuk terbakar). Sifat bahan bakar bervariasi menurut ruang dan waktu. Gambut hutan tropika merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang tinggi. Muatan bahan bakar merupakan jumlah dari bahan tanaman, baik yang hidup maupun yang mati di atas tanah mineral. Berdasarkan penelitian Setyaningsih (2006) tipe bahan bakar terbuka telah secara signifikan menyebabkan terjadinya beberapa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kombinasi bahan bakar hidup dan mati pada suatu area menyebabkan lebih sulit terbakar daripada padang rumput atau area pertanian musiman. Lantai hutan yang dipenuhi dengan belukar cenderung meningkatkan kelembaban dalam lingkungan hutan sehingga akan lebih resisten terhadap terjadinya kebakaran. Kandungan air dalam bahan bakar merupakan faktor penting yang berkontribusi besar terhadap terjadinya kebakaran. Semakin tinggi kadar air bahan bakar semakin banyak panas yang diperlukan untuk mengeluarkan air dari bahan bakar, maka terjadi penurunan kecepatan pembakaran.
Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya bahan bakar terbakar. Salah satu kondisi bahan bakar yang penting adalah kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran. Kandungan kadar air bahan bakar dari tanaman A. mangium 28,60%, sedangkan tanaman P. merkusii 30,96% (Saharjo, 2003 dalam Darwo, 2009).
Intensitas Kebakaran
Bagaimana api beraksi dan bagaimana cepatnya laju penjalaran api ditentukan oleh intensitas kebakarannya. Intensitas kebakaran akan secara langsung mempengaruhi tingginya tingkat kerusakan, dan selanjutnya menentukan berapa luas tajuk tanaman yang akan dikonsumsi, mati atau tidak tersentuh oleh api. Laju penjalaran api dari api muka akan menentukan waktu tetap untuk suhu api yang mematikan pohon pada suatu titik yang diberikan, suatu faktor yang relevan untuk kehidupan hewan dan tanaman (Uni Sosial Demokrat, 2014).
Intensitas Kebakaran
Bagaimana api beraksi dan bagaimana cepatnya laju penjalaran api ditentukan oleh intensitas kebakarannya. Intensitas kebakaran akan secara langsung mempengaruhi tingginya tingkat kerusakan, dan selanjutnya menentukan berapa luas tajuk tanaman yang akan dikonsumsi, mati atau tidak tersentuh oleh api. Laju penjalaran api dari api muka akan menentukan waktu tetap untuk suhu api yang mematikan pohon pada suatu titik yang diberikan, suatu faktor yang relevan untuk kehidupan hewan dan tanaman (Uni Sosial Demokrat, 2014).
BAB III
KESIMPULAN
Perilaku api dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor cuaca/iklim, bahan bakar, waktu, topografi, dan jarak dari pemukiman. Faktor cuaca seperti hujan angin mempengaruhi perilaku penyebaran api, misalnya wilayah dengan curah hujan yang rendah akan menyebabkan penjalaran api semakin cepat, api akan menjalar sesuai dengan arah angin. Bahan bakar merupakan sumber energy untuk terjadinya kebakaran, semakin tinggi ketersediaan bahan bakar maka penyebaran api semakin tinggi. Api lebih cepat menjalar kea rah atas lereng dikarenakan bahan bakar bagian atas lebih cepat panas. Penyebab kebakaran terbesar adalah manusia, maka semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran.
Perilaku api dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor cuaca/iklim, bahan bakar, waktu, topografi, dan jarak dari pemukiman. Faktor cuaca seperti hujan angin mempengaruhi perilaku penyebaran api, misalnya wilayah dengan curah hujan yang rendah akan menyebabkan penjalaran api semakin cepat, api akan menjalar sesuai dengan arah angin. Bahan bakar merupakan sumber energy untuk terjadinya kebakaran, semakin tinggi ketersediaan bahan bakar maka penyebaran api semakin tinggi. Api lebih cepat menjalar kea rah atas lereng dikarenakan bahan bakar bagian atas lebih cepat panas. Penyebab kebakaran terbesar adalah manusia, maka semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arianti, I. 2006. Pemodelan Tingkat Dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub Das Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bahri, S. 2002. Kajian penyebaran kabut asap kebakaran hutan dan lahan di wilayah sumatera bagian utara dan kemungkinan mengatasinya dengan TMC. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 3(2): 99-104.
Clar, C.R. dan L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Departement of Natural Resources Devision of Forestry. California.
Darwo. 2009. Perilaku Api dan Sebab Akibat Kebakaran Hutan. http://www.p3hka.org.pdf. [17 Oktober 2014].
Department of Natural Resource. dnr.maryland.gov/forests/wfm.asp. [Diakses 19 November 2014].
Donna, R. 2006. Perilaku Api dan Dampak Pembakaran Terhadap Fauna Tanah pada Areal Penyiapan Lahan di Hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat. Karya Ilmiah Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
National Park Service. California. www.nps.gov/samo/firebehavior.htm. [Diakses 19 November 2014].
Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta.
Qodriyatu N.S. 2014. Penanganan Kebakaran Hutan Dan Lahan. Peneliti Madya bidang Kebijakan Lingkungan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. Jakarta.
Saharjo, B.H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah Dilakukan. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Setyaningsih, L. 2006. Karakteristik bahan bakar dan perilaku api dalam proses kebakaran hutan. Jurnal Nusa 6(1): 24 – 32.
Suratmo, G.F. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Bayumedia. Malang.
Uni Sosial Demokrat. 2014. Kebakaran Hutan dan Asap. http://www.unisosdem.org. [17 Oktober 2014].
Nasution, A.Z., Mubarak, dan Zulkifli. 2013. Studi emisi CO2 akibat kebakaran hutan di provinsi riau(studi kasus di Kabupaten Siak). Jurnal Bumi Lestari 13(1): 27 -36.
Semoga tulisan tentang Kebakaran Hutan (Makalah Budidaya Hutan) dapat membantu. Salam Harjoshrian..
No comments:
Post a Comment