Di indonesia, peningkatan penggunaan pestisida oleh masyarakat tidak terlepas dari program isntensifikasi pertanian yang diterapkan sejak pemerintahan orde baru. Dengan alasan sebagai usaha dalam peningkatan produksi pangan, pertanian intensif menerapkan sistem produksi pertanian yang mengusahakan peningkatan produksi untuk setiap kesatuan luas areal dengan berbagai masukan termasuk penggunaan varietas-varietas modern, penggunaan pestisida, dan pemilihan satu jenis tanaman budaya. Secara umum program ini memang menunjukkan keberhasilan dengan meningkatnya produksi tanaman pangan dan perkebunan, namun disamping keberhasilan tersebut juga menimbulkan beberapa masalah yang salah satunya adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Pengalaman di Indonesia menunjukkan, bahwa sejak diterapkan program intensifikasi pertanian secara besar-besaran, masalah hama dan penurunan hasil yang disebabkan hama semakin meningkat. Berbagai jenis spesies hama yang sebelum program intensifikasi kurang penting, berubah status menjadi hama yang sangat penting dalam areal intensifikasi padi, seperti hama wereng coklat Nilaparvata lugens, wereng punggung putih, wereng hijau, dan beberapa hama lain (Kerr, 2009).
Program pengendalian hama pada akhirnya menjadi perhatian banyak pihak. Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan untuk menemukan strategi yang cocok dalam pengendalian hama. Pengendalian hama dapat dilakukan secara sintetik dan secara alami (Jumar, 2000). Pengendalian secara alami dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran usush alami dalam mengendalikan populasi hama, pengendalian alami atau pengendalian hayati ini dilakukan dengan cara pengaturan populasi yang memanfaatkan musuh alami sehingga kepadatan organisme tersebut berada di bawah rata-rata bila dibandingkan dengan tanpa pengendalian (DeBach, 1979).
Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Secara alami ddengan melindungi kesempatan musuh alami untuk berkembang biak lebih banyak, juga diusahakan untuk memelihara dan melakukan pelepasan musuh-musuh alami dari daerah asal hama, kemudian mengembangkannya secara massal dan melepaskan ke lapangan untuk menekan populasi serangga sama sasaran (Untung, 2006; Susilo, 2007; Oka,2005).
Pemanfaatan musuh alami dalam mengendalikan hama dinilai sebagai salah satu strategi yang cukum aman karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain adalah tidak menimbulkkan pencemaran lingkungan dan tidak menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak, tidak menyebabkan resistensi terhadap hama, musuh alami fapat bekerja secara selektif terhadap inang atau mangsanya, dan pengendalian hayati ini bersifat permanen (jumar, 2000). Usaha dalam memaksimalkan kinerja musuh alami yang ada di lahan pertanian salah satunya adalah menciptakan habitat yang disukai oleh musuh alami, manajemen habitat ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah populasi musuh alami (Helenius, 1998). Manajemen habitat ini merupakan yang berbasis ekologis yang ditujukan untuk mendukung musuh alami dan meningkatkan kontrol biologis dalam sistem pertanian. Tujuan manajemen habitat adalah untuk menciptakan infrasruktur yang cocok dalam ekologi lansekap pertanian untuk menyediakan sumber daya sperti makana bagi musuh alami dewasa, mangsa atau inang alternatif, dan tempat berlindung dari kondidi yang merugikan (Landis et al.,2000).
Penyediaan alternatif habitat bagi musuh alami dapat dilakukan dnegan memanfaatkan tumbukan liar yang ada di sekitar pertanian. Gulma yang berada di area persawahan mampu menarik berbagai serangga predator dan parasitoid serta Arthoropoda penting lainnya (Heinrichs, 1994). Sebaliknya pengurangan gulma berbungan pada suatu lahan akan diikuti oleh pengurangan gulma berbungan pada suatu lahan akan diikuti oleh pengurangan jumlah fauna yang ada (Kugles, 1970 dalam Weiss dan Stettmer 1991). Tumbuhan liar tersebut dapat berfungsi sebagai refugia bagi predator serangga hama, tumbuhan refugia merupakan tempat perlindungan, sumber makanan tambahan, tempat bereproduksi, dan tempat untuk beristirahat (Wratten et.al., 1998; Nentwig, 1998).
Beberapa penelitian menunjukkan ketertarikan berbagai jenis serangga musuh alami terhadap tumbuhan liar yang biasa tumbuh di sekitar area persawahan. Seperti dilaporkan Nandini (2000) bahwa lalat kibar (Syrphidae) tertariik pada beberapa tumbuhan liar berbunga Stachytarpheta indica, mimosa pudica, Bidens pilosa, dan Vernonia cinera. Selain itu hasil penelitian Sukaromah (2006) menjelaskan bahwa beberapa serangga dari famili Coccobelidae memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap tumbuhan dari suku Asteraceae. Beberapa tanaman air seperti semanggi (Marsilea crenata) dan kayu apu (Pistia startiotes) seperti dilaporkan Mukti (2007) juga mampu menarik serangga Adalia bipuntata dan Coccinella yang merupakan salah satu serangga predator. Beberapa penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan tumbuhan liar berpotensi untuk dijadikan sebagai habitat alternatif bagi serangga. Dengan menjadikan bagian dari manajemen pengelolaan hama, tumbuhan liar (gulma) di sekitar area persawahan yang selama ini dinilai merugikan dapat menjadi lebih bermanfaat.
Tumbuhan liar yang terdapat di sekitar lahan pertanian sangat banyak jenisnya, dimana secara ekologis semakin banyak variasi makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan maka ekosistem menjadi semakin komplek dan hal tersebut akan membantu mempertahankan kestabilan ekosistem. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa terbukti masing-masing tumbuhan liar yang terdpat di sekitar lahan pertanian mampu berfungsi sebagai refugia bagi Arthoropoda yang menguntungkan. Berdasar dari kajian-kajian tentang manfaat tumbuhan liar bagi Arthoropoda yang sudah ada, tulisan ini ingin menyajiakan upaya eksplorasi kombinasi tumbuh-tumbuhan yang sering dijumpai di sekitar pertanian yang paling banyak bermanfaat sebagai refuhia, sehingga selain pengendalian hama, aspek keseimbangan ekosistem juga turut menjadi pertimbangan....
Sumber: Pemanfaatan Tumbuhan Liar dalam Pengendalian Hayati, Wiwin Maisyaroh, M.Si. 2014. UB Press, Malang, Indonesia.
No comments:
Post a Comment