Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian. *****
Paper Mata Kuliah
Agroindustri Medan,
Maret 2014
PENGEMBANGAN PENGOLAHAN
KOMODITAS KAKAO (Theobroma Cacao L)
Dosen Pembimbing:
Dr. Agus
Purwoko, S.Hut., M.Si
Disusun Oleh :
Ricky
Halomoan Gea 111201132
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan paper ini dengan baik dan tepat waktu.
Adapun judul dari paper
ini adalah “Pengembangan Pengolahan
Komoditas Kakao (Theobroma cacao L)” yang disusun sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Mata Kuliah Agroindustri di Program Studi Kehutanan Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si selaku dosen penanggungjawab, yang telah membantu dan membimbing
penulis dalam terwujudnya paper ini.
Penulis menyadari bahwa
paper ini belum sempurna, baik dari segi tehnik penyusunan maupun dari segi
materi dan pembahasan. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
penyempurnaan paper ini.
Semoga paper ini
bermanfaat bagi kita semua, demi penyempurnaan wawasan dan khasanahi lmu
pengetahuan.
Medan, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................................... 4
Tujuan.................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
Deskriptif Kakao
................................................................................ 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Agroindustri berasal
dari dua kata, yaitu agricultural dan industry yang berarti suatu
industri yang menggunakan hasil komoditi pertanian sebagai bahan baku utamanya.
Definisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang
memanfaatkan hasil komoditi pertanian sebagai bahan baku yang dapat diolah
menjadi produk yang mempunyai nilai tambah serta mempunyai manfaat lebih dari
hasil komoditi pertanian sebelumnya. Dari penjabaran diatas, dapat dikatakan
agroindustri adalah sebuah revolusi dari pengolahan hasil pertanian dengan
memberikan nilai tambah untuk menyukseskan pertanian.
Dalam agroindustri
terdapat tiga basis iptek yang harus dimiliki, yaitu ilmu pertanian, ilmu
teknik-teknologi, dan ilmu ekonomi manajemen. Tiga basis ilmu pengetahuan
tersebut merupakan modal utama yang harus dimiliki untuk mengembangkan sebuah
agroindustri. Agroindustri merupakan sub sektor yang luas yang meliputi
industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir. Industri hulu
adalah industri yang memproduksi hasil komoditi pertanian serta alat-alat mesin
pertanian dan industri sarana produksi yang digunakan dalam proses budidaya
pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri yang mengolah hasil
pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi yang memiliki
nilai tambah atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.
Dalam kerangka
pembangunan pertanian, agroindustri merupakan penggerak utama perkembangan
sektor pertanian, terlebih dalam masa yang akan datang posisi pertanian
merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga peranan
agroindustri akan semakin besar. Dengan kata lain, dalam upaya mewujudkan
sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien sehingga mampu menjadi leading
sector dalam pembangunan nasional, harus ditunjang melalui pengembangan
agroindustri, menuju agroindustri yang tangguh, maju serta efisien.
Adapun salah satu contoh
dari pengembangan agroindustri adalah pengembangan komoditi kakao. Kakao
merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi
perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber
pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam
mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002,
perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub
sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701
juta.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan
pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan
kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar
(87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta
6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian
besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan
jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Biji kakao maupun
produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional.
Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao.
Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor
Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri
komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri
yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat
menjadi 1.432.558 Ha (tahun 2009). Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan
kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.
Tujuan
Tujuan dari paper yang
berjudul “Pengembangan Pengolahan Komoditas Kakao (Theobroma
cacao L)” adalah untuk mengetahui nilai
tambah produk kakao Indonesia.
PEMBAHASAN
Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis
marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut
Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak
divisi : Angioospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak
kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis :
Theobroma cacao L
Kakao sebagai komoditas perdagangan
biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar: kakao mulia ("edel
cacao") dan kakao curah/lindak ("bulk cacao"). Di
Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa, seperti
di Kabupaten Jember yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII
(Persero). Kultivar-kultivar
penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang
dilakukan pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan
"DR" (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama
perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa
Tengah). Kakao mulia berpenyerbukan sendiri dan berasal dari tipe Criollo. Sebagian
besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah
berasal dari kultivar-kultivar yang self-incompatible. Kualitas
kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang
diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya
Kakao atau cokelat
merupakan tanaman industri perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak
tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah
Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975,
setelah PT Perkebunan VI berhasil menaikkan produksi kakao per hektar melalui
penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan
hasil persilangan antar klon dan sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari
Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec di Amerika Serikat dipercaya sebagai
perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke
XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal
tanaman kakao. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara,
Afrika dan Asia.
Untuk meningkatkan
nilai tambah produk kakao Indonesia semestinya para pelaku usaha kakao akan
mengekspor hasil produknya bukan saja biji kakao tetapi biji kakao yang sudah
difermentasi. Karena nilai tambah kakao fermentasi lebih tinggi. Di sisi lain,
peningkatan nilai tambah dapat terus ditingkatkan seiring dengan pemanfaatan
kakao untuk bahan baku berbagai produk inovasi lainnya seperti berbagai aneka
hasil olahan seperti cokelat atau makanan.
Fermentasi merupakan inti
dari proses pengolahan biji kakao. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk
membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk
memperbaiki dan membentuk cita rasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta
mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji. Fermentasi dapat dilakukan
dengan beberapa metode, seperti fermentasi tumpukan, fermentasi dalam
keranjang, dan fermentasi dalam kotak. Pemilihan metodenya tergantung
pada kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan
tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna
menentukan cita rasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga karena buah
yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang
dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury.
Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau tidak sempurna, selain citarasa khas
cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak
dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah.
Biji buah kakao/coklat
yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk.
Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan
dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan
ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao setengah
jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa powder dan
cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao dan produk
setengah jadi jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter.
Untuk meningkatkan nilai
tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao dilakukan beberapa
strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk
menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif
(kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji kakao dan tahap kedua
adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao sehingga
dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji
kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk
ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan, farmasi, dan
kosmetika.
Pasta cokelat atau cocoa
mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa
tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau
semicair. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk
cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman cokelat
.
Lemak cokelat atau cocoa
fat atau cocoa butter merupakan lemak nabati alami yang mempunyai
sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik bekunya. Lemak cokelat
dikeluarkan dari pasta cokelat dengan cara dikempa atau dipres. Pasta kakao
dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang memiliki dinding silinder yang
diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati
lubang-lubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat sebagai hasil sampingnya akan
tertahan di dalam silinder.
Lemak cokelat mempunyai
warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat. Lemak cokelat mempunyai tingkat
kekerasan yang berbeda pada suhu kamar, tergantung asal dan tempat tumbuh
tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia, khususnya Sulawesi memiliki tingkat
kekerasan lebih tinggi bila dibandingkan lemak cokelat dari Afrika Barat; dan
sifat ini sangat disukai oleh pabrik makanan cokelat karena produk menjadi
tidak mudah meleleh saat didistribusikan ke konsumen.
Bubuk cokelat atau cocoa
powder diperoleh melalui proses penghalusan bungkil (cocoa cake)
hasil pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, setelah penghalusan
perlu dilakukan pengayakan. Bubuk cokelat relatif sulit dihaluskan dibandingkan
bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya kandungan lemak. Lemak yang
tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat dihaluskan
sehingga menyebabkan komponen alat penghalus bekerja tidak optimal. Pada suhu
yang lebih rendah dari 34ºC, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk
menggumpal dan membentuk bongkahan (lump). Cocoa
powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pada biscuit,
ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai
pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikunsumsi
oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan
permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika.
Berikut lampiran pohon industri dari buah kakao :
Gambar 1. Pohon
industri buah kakao (Theobroma cacao)
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah
dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai
cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia
tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan
dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik
ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk
menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao
Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas
kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk
masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal
ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis
kakao.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman
perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum
menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha
(7,8%) tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha,
dimana produktivitas perkebunan rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas
perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan produktivitas
perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal
perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga
perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao
ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku Utara dan Irian Jaya.
Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan
hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan
dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar
kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’lvoire) pada tahun 2002,
walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International
Cocoa Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut
salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat
ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari total areal kakao
khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta
per tahun. Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh
masih dominannya kebun yang dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat
dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman klonal.
PENUTUP
Kakao atau cokelat merupakan tanaman industri
perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi
komoditi yang penting sejak tahun 1951. Kakao juga berperan
dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila
dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao
berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga
cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut,
peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam
negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai
salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Diperlukan
pengembangan produk turunan kakao sehingga tidak hanya produk primer seperti
biji kakao mentah tetapi perlu dilakukan upaya pergeseran (shifting)
keunggulan dari sektor primer menuju sektor pengolahan kakao seperti cocoa powder,
cocoa butter karena mempunyai nilai tambah (vallue added) lebih besar
dibanding ekspor biji kakao.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Syamsul
, Ediana Rae, Dian dan Joseph PR. Charles, 2007, Kerja Sama Perdagangan
Internasional, Peluang dan Tantangan bagi Indonesia, Penerbit PT Elex media
Komputindo, Jakarta
Frans, Hero K.
Purba. Upaya Daya Saing dalam Perkembangan Kakao Indonesia dalam Perdagangan
Internasional dalam
http://heropurba.blogspot.com/2014/03/
upaya-daya-saing-dalam-perkembangan.html
Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi
permasalahan praktis), PT. Agromedia Pustaka.
Tjitrosoepomo,
Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada.
No comments:
Post a Comment