Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata
kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan
mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena
tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya
juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang
memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian...
*****
Paper Tugas Kuliah Agroindustri Medan, Maret 2014
PENGOLAHAN KULIT KOPI DARI
MASYARAKAT MENJADI KOMPOS ORGANIK
Dosen
Pembimbing
Disusun oleh :
Fransiscus Sihombing
111201151
HUT 6 D
PROGRAM STUDI
KEHUTANAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
PENDAHULAN
Latar Belakang
Kompos
adalah bahan organik yang dibusukkan pada suatu tempat yang terlindung dari
matahari dan hujan, diatur kelembabannya dengan menyiram air bila terlalu
kering. Untuk mempercepat perombakan dapat ditambah kapur, sehingga terbentuk
kompos dengan C/N rasio rendah yang siap untuk digunakan (Hardjowigeno, 1995).
Rinsema (1986) mengartikan kompos adalah suatu produk yang sebagian besar
terdiri dari sampah buangan organik yang secara keseluruhan atau sebagian telah
mengalam pengeraman dalam suhu yang (Etika, 2007).
Pengomposan
merupakan salah satu alternatif penanganan sampah dengan cara memanfaatkan dan
mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos yang dapat digunakan sebagai
subtitusi ataupun pelengkap dari penggunaan pupuk kimia. Keunggulan dari pupuk
kompos ialah mempunyai komposisi kandungan unsur hara baik makro dan mikro yang
cukup lengkap dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Kompos dapat
digunakan untuk pertamanan, lapangan golf, tanaman sayuran dan buah-buahan,
tambak udang dan reboisasi lahan kritis. Pemanfaatan kompos selain digunakan
sebagai pupuk organik, dapat juga dimanfaatkan sebagai media tumbuh berbagai
macam tanaman termasuk tanaman anggrek. Untuk itu pupuk kompos yang sebelumnya
berbentuk serbuk harus diubah terlebih dahulu menjadi suatu bentuk yang ideal
sebagai media tumbuh (Indrasti dan rio, IPB).
Sejalan dengan berkembangnya isu ”back to
nature” untuk memenuhi permintaan produk pertanian organik dengan berbagai
persyaratan yang semakin meningkat, pemerintah berupaya mengembangkan teknologi
pemanfaatan bahan-bahan organik untuk digunakan sebagai pupuk. Melalui berbagai
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tanpa bahan organik, sistem pertanian
akan bersifat rapuh (fragile), mudah terguncang hanya dengan perubahan
lingkungan yang kecil (Bergeret, 1987). Selanjutnya, Abdoellah (2000)
melaporkan bahwa ditambah dengan kekhawatiran adanya pengaruh buruk terhadap
kesehatan akibat pencemaran pupuk kimia, kini disadari peran yang dimainkan
oleh bahan organik, dan berusaha kembali meningkatkan penggunaan bahan organik,
serta mengurangi penggunaan pupuk buatan (anorganik). Kecenderungan semacam
diatas memunculkan sistem pertanian yang dikenal dengan sistem pertanian
berkelanjutan dengan masukan eksternal rendah. Di samping berfungsi utama untuk
memperbaiki sifat fisika tanah (sebagai soil conditioner), bahan organik
juga membantu mengubah unsur hara tanah yang semula tidak tersedia menjadi
tersedia, serta mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman meskipun dalam
jumlah sedikit. Sifat fisik tanah yang baik akan menyebabkan penyerapan unsur
hara tanah oleh tanaman menjadi lebih mudah/lancar. Oleh karena itu, penambahan
bahan organik akan mengurangi jumlah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam
bentuk pemberian pupuk anorganik.
Menurut data statistik (BPS, 2003), produksi biji
kopi di Indonesia mencapai 611.100 ton dan menghasilkan kulit kopi sebesar
1.000.000 ton. Jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan pencemaraan yang
serius. Pengolahan cara kimia dengan amoniak (NH3) disebut sebagai amoniasi.
Keuntungan pengolahan ini, selain meningkatkan daya cerna juga sekaligus
meningkatkan kadar protein, dapat menghilangkan aflatoksin dan pelaksanaannya
sangat mudah. Kelemahannya pengolahan ini utamanya untuk pakan ruminansia.
Amoniak dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel sehingga
membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dan
memudahkan pencernaan oleh selulase mikroorganisme. Amoniak akan terserap dan
berikatan dengan gugus asetil dari bahan pakan, kemudian membentuk garam
amonium asetat yang pada akhirnya terhitung sebagai protein bahan. Struktur
dinding sel kulit kopi menjadi lebih amorf dan tidak berdebu, sehingga menjadi
lebih mudah di tangani. Dalam keadaan tertutup (plastik belum dibuka/bongkar),
bahan pakan yang diamoniasi dapat tahan lama.
ISI
Tanaman kopi
merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak terdapat di Indonesia yang
mempunyai peluang untuk dikembangkan dalamrangka usaha memperbesar pendapatan
negara dan meningkatkan penghasilan pengusaha dan petani. Produksi kopi di
Indonesia yang berkembang tersebut, ternyata kurang diikuti dengan penanganan
kopi pasca panen yang baik terutama pada kulit kopinya yaitu berkisar antara 40
% sampai 55 % dari produksinya. Dimana masih banyak petani yang membuang begitu
saja kulit kopi di pekarangan rumahnya maupun di kebun ataupun sawahnya tanpa
mengompos kulit kopi terlebih dahulu di mana seperti kita tahu kulit kopi
sangat keras dan susah didekomposisi. Kulit kopi merupakan limbah pengolahan
buah kopi yang mempunyai banyak kegunaan. Tiap satu ton buah basah mengandung
kulit kopi kering lebih kurang 200 kg. Secara kimiawi kulit kopi mengandung
bahan organik seperti karbon (C), hydrogen (H) dan oksigen (O) yang terikat
dalam bentuk senyawa selulosa (45%), hemi-selulosa (25%), lignin (2 %), resin
(45%), dan abu (0,5 %) (Mulato, Atmawinata dan Yusianto, 1996). Selain itu
kandungan kulit kopi yang sudah hancur menurut Trisilawati dan Gusmaini (1999)
adalah 1,88 % N; 2,04 % K; 0,53 % Ca dan 0,39 % Mg (Etika, 2007).
Pupuk organik merupakan hasil akhir
dan atau hasil antara dari perubahan atau peruraian bagian dan sisa-sisa
tanaman dan hewan, misalnya bungkil, guano, tepung tulang, limbah ternak dan
lain sebagainya (Murbandono, 2002). Pupuk organik merupakan pupuk yang terbuat
dari bahan-bahan organik yang didegradasikan secara organik. Sumber bahan baku
organik ini dapat diperoleh dari bermacam-macam sumber, seperti : kotoran
ternak, sampah rumah tangga non sintetis, limbah-limbah makanan/minuman, dan
lain-lain. Biasanya untuk membuat pupuk organik ini, ditambahkan larutan
mikroorganisme yang membantu mempercepat proses pendegradasian (Prihandarini,
2004).
Pengolahan
kopi secara basah akan menghasilkan limbah padat berupa kulit buah pada proses
pengupasan buah (pulping) dan kulit tanduk pada saat penggerbusan (hulling).
Limbah padat kulit buah kopi (pulp) belum dimanfaatkan secara optimal, umumnya
ditumpuk di sekitar lokasi pengolahan selama beberapa bulan, sehingga timbulnya
bau busuk dan cairan yang mencemari lingkungan . Salah satu upaya untuk mendukung
pertanian berkelanjutan melalui perbaikan tanah adalah pemanfaatan secara
maksimal limbah proses produksi kopi. Limbah kulit buah kopi memiliki kadar
bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiiki tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 45,3 %,
kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah
kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal
pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara dengan
produksi tepung limbah 630 kg.
a. Proses Dasar Pembentukan
Kompos
Pemanfaatan limbah perkebunan selain
sebagai pupuk organik atau kompos juga dapat sebagai pupuk cair khususnya yang
berasal dari limbah kopi. Sebelum membuat kompos, perlulah mengetahui proses
dasar pembentukan kompos tersebut, karena dalam proses pembentukan kompos
terjadi perubahan-perubahan sehingga zat-zat yang semula dalam keadaan terikat
akan terurai sehingga dapat diserap oleh akar tanaman.
Perubahan Hayati
Di dalam timbunan limbah organik untuk
pembuatan kompos, terjadi aneka perubahan hayati yang dilakukan oleh
jasad-jasad renik. Perubahan hayati yang penting yaitu sebagai berikut :
Penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa dan lain-lain menjadi CO2 dan
air.
Penguraian zat lemak dan
lilin menjadi CO2 dan air
Penguraian zat putih telur, melalui amida-amida dan asem-asam
amino, menjadi amoniak, CO2 dan air
Terjadi peningkatan
beberapa jenis unsur hara di dalam tubuh
Akibat
perubahan tersebut, berat dan isi bahan kompos menjadi sangat berkurang. Sebagian besar senyawa zat arang
akan hilang, menguap ke udara. Kadar senyawa N yang larut (amoniak) akan
meningkat. Dalam pengomposan, kadar abu dan humus makin meningkat. Pada
perubahan selanjutnya (diakhir pembuatan kompos), akan diperoleh bahan yang
berwarna merah kehitaman. Bahan dengan kondisi semacam ini sudah siap digunakan
sebagai pupuk.
Persenyawaan
Mengingat banyak perubahan yang terjadi
dalam timbunan bahan kompos, perlu diperhatikan antara lain :
Persenyawaan zat arang (C), harus secepat mungkin diubah secara sempurna
sehingga diperlukan banyak udara dalam timbunan bahan kompos.
Persenyawaan zat lemas (gas NH3 atau gas N) sebagian besar harus diubah menjadi
persenyawaan amoniak.
Jika perbandingan C/N-nya kecil, akan banyak amoniak
dibebaskan oleh bakteri diupayakan hasil
terakhir pengomposan tidak
terlalu banyak mengandung bakteri.
Pengomposan disebut baik jika zat lemas yang hilang tidak terlalu banyak. Hal
ini bisa dilakukan dengan cara denitrifikasi dan pembasuhan nitrat. Disamping
itu juga persenyawaan kalium dan fosfor berubah menjadi zat yang mudah diserap
tanaman.
Diperlukan bahan baku kompos yang banyak mengandung lignin.
b. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan
Kompos
Pada dasarnya pembuatan
kompos cukup sederhana (berbeda dengan pengelolaan limbah cair), dengan
menumpuk bahan-bahan organik maka bahan-bahan tersebut akan menjadi kompos
dengan sendirinya, namun proses tersebut akan berlangsung lama. Mengingat
adanya perubahan-perubahan yang terjadi saat pembentukan kompos maka
pembentukan kompos dapat lebih dipercepat, tentunya dengan memperhatikan
beberapa faktor yang mempengaruhi seperti bahan baku, suhu, nitrogen, dan
kelembaban.
Bahan Baku
Alam telah menyediakan bahan baku atau
sisa-sisa/limbah tanaman sedemikian banyaknya, seperti kulit buah kakao dan
kopi, buah semu jambu mete, cangkang kelapa sawit, sabut kelapa dan blotong
tebu bahkan limbah kayu hasil tebangan. Meski hampir semua bahan organik dapat
dimanfaatkan, tetapi beberapa diantaranya tidak boleh digunakan dalam pembuatan
kompos sebab dapat menimbulkan bau busuk dan terkontaminasi bibit penyakit.
Beberapa contoh bahan yang harus dihindari.
-
Kotoran hewan piaraan, misalnya anjing dan kucing
-
Abu rokok, abu arang dan arang
-
Limbah biji kopi
- Sampah bekas sisa-sisa makanan berlemak
Kecepatan suatu bahan menjadi kompos dipengaruhi
oleh kandungan C/N. Semakin mendekati C/N tanah maka bahan tersebut akan lebih
cepat menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan unsur C
dan N yang seimbang. Keseimbangan yang baik ialah C/N = 10/12 atau C : N = 10 :
12. Bahan-bahan tersebut harus dikomposkan lebih dahulu sebelum digunakan agar
C/N bahan itu menjadi lebih rendah atau mendekati C/N tanah. Itulah sebabnya
bahan-bahan organik tidak dapat langsung dibenamkan atau ditanam di dalam tanah
begitu saja dan membiarkan terurai sendiri. Alasan lain struktur bahan organik
segar sangat kasar , daya ikatnya terhadap air sangat lemah sehingga bila
langsung dibenamkan di tanah, tanah menjadi sangat berderai. Hal ini mungkin
baik bagi tanah-tanah berat, tetapi berakibat buruk bagi tanah-tanah yang
ringan, utamanya tanah berpasir. Pembenaman bahan organik begitu saja ditanah
yang kaya udara dan air tidaklah baik karena penguraian terjadi dengan amat
cepat. Akibatnya jumlah CO2 dalam tanah akan meningkat dengan cepat. Kondisi
ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Untuk mempercepat proses
pengomposan, struktur bahan organik perlu diperkecil melalui pencacahan atau
pemotongan. Ukuran bahan organik yang ideal sekitar 4-5 cm. Bahan tersebut
dipotong secara manual (pisau atau parang) atau dapat pula dengan alat
pemotong.
Suhu
Menjaga kestabilan suhu
pada suhu ideal (40-50 %) amat penting dalam pembuatan kompos. Salah satu
caranya dengan menimbun bahan sampai ketinggian tertentu, idealnya 1,25 – 2 m.
Timbunan yang terlalu rendah akan menyebabkan panas mudah/cepat menguap. Suhu (panas)
yang kurang akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berbiak atau bekerja
secara wajar. Dengan demikian, pembuatan kompos akan berlangsung lama.
Sebaliknya, suhu terlalu tinggi bisa membunuh bakteri pengurai. Kondisi yang
kekurangan udara dapat memacu pertumbuhan bakteri anaerobik (menimbulkan bau
tidak enak).
Nitrogen
Nitrogen
adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghancur untuk tumbuh dan berkembang biak.
Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya terlalu sedikit tidak
menghasilkan panas sehingga pembusukan bahan-bahan menjadi terhambat.
Kelembaban
Kelembaban
di dalam timbunan kompos mutlak harus dijaga. Kelembaban yang tinggi akan
mengakibatkan volume udara menjadi berkurang . Makin basah timbunan bahan maka
kegiatan mengaduk harus makin sering dilakukan, sehingga volume udara terjaga
stabilitasnya dan pembiakan bakteri anaerobik bisa dicegah. Secara menyeluruh,
kelembaban timbunan harus mencapai 40-60% .Panas dan kelembaban dalam timbunan
bahan perlu dikontrol, caranya dengan menusukkan tongkat ke dalam timbunan.
Jika tongkat itu hangat dan basah, serta tidak tercium bau busuk berarti proses
pengomposan telah berjalan baik.
Dari hasil
pengomposan yang berasal dari limbah kulit kopi dikombinasikan dengan pupuk
organik lain. Pupuk organik yang ditambahkan adalah pupuk kandang yaitu dari
kotoran ayam. Kandungan unsur hara dalam kotoran ayam adalah yang paling
tinggi, karena bagian cair (Urine) tercampur dengan bagian padat. Kotoran ayam
mengandung N tiga kali lebih besar daripada pupuk kandang lain. Presentasi
kandungan N, P dan K pada kotoran ayam adalah N: 1,0 %; P: 9,5 %; dan K: 0,3 %
(Sutanto, 2002). Dari kombinasi kompos dari limbah kulit kopi dan pupuk kandang
tersebut (Kotoran ayam) diharapkan mampu memberikan masukan unsur hara dalam tanah,
dan meningkatkan ketersedian unsur N,P dan K sehingga baik untuk pertumbuhan
tanaman. Oleh sebab itu maka penelitian dari pengomposan kulit kopi yang
dikombinasikan dengan pupuk kandang ini perlu dilakukan.
Prosedur
Pembuatan
Pada pembuatan kompos, bahan mentah
(sumber karbon) ditumpuk berlapis-lapis dengan ketebalan 20 cm. Kemudian setiap
lapisan ditaburi selapis kotoran Hewan seperti kerbau atau ayam sebagai
aktivator dengan ketebalan 10 cm. Ukuran tumpukan kompos pada penelitian ini
ialah 70 x 70 x 70 cm3. Khusus pada perlakuan pengomposan yang menggunakan alat
bantu aerasi, pada ketinggian 20 cm bambu dipasang pada posisi mendatar dan
kemudian bahan baku ditumpuk kembali. Pembuatan kompos ini dilakukan selama 40
hari. Setiap hari dilakukan pemantauan temperatur dan kelembaban. Pemantauan
temperatur dilakukan dengan cara menghitung temperatur rata-rata dari lima
titik pada tumpukan kompos menggunakan ter-mometer alkohol. Termometer
dibenamkan ke dalam tumpukan kompos kemudian didiamkan selama be-berapa menit.
Setelah itu termometer dicabut dari tumpukan dan hasil temperatur dapat dibaca
pada skala yang tertera pada termometer.
Pemantauan
kelembaban dilakukan dengan cara memeriksa tumpukan kompos secara langsung.
Pengukuran kelembaban dilakukan secara manual dengan cara mengambil segenggam
bahan dari bagian dalam tumpukan kemudian diperas dengan tangan. Apabila air
keluar sedikit, satu atau dua tetes, atau tangan menjadi basah, maka kelembaban
dianggap cukup atau sekitar 50 - 60 %. Apabila tidak keluar air atau tangan
tidak menjadi basah berarti tumpukan terlalu kering atau kelembaban kurang dari
30 %. Sedangkan apabila tumpukan kompos belum diperas sudah keluar air lebih
dari dua tetes maka tumpukan terlalu basah. Bila tumpukan terlalu kering maka
ditambahkan air dan jika terlalu basah maka tumpukan dibalik.
DAFTAR
PUSTAKA
Etika,
Y.V. 2007. Pengaruh Pemberian Kulit Kopi, Kotoran Ayam dan Kombinasinya
Terhadap Ketersediaan Unsur N,P dan K pada Inceptisol. Universitas Brawijaya.
Malang
Hardjowigeno, S.
1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika
Indrasti,
N.S dan Rio R. E. Pengembangan Media Tumbuh Anggrek dengan Menggunakan Kompos.
Fakultas teknologi Pertanian IPB. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 14(2), 40-50
Murbandono
,HS. L. 2002. Membuat Kompos.Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta
Prihandini,
R. 2004. Manajemeen Sampah, Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk Organik. Penerbit
Perpod. Jakarta
Rinsema,
W. T. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Bharata Aksara. Jakarta
Susanto,
R. 2002. Penerapan Pertanian Organik : Pemasyarakatan dan Pengembangannya.
Kanisius. Yogyakarta
No comments:
Post a Comment