Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata
kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan
mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena
tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya
juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang
memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian...
*****
Tugas
Mata Kuliah Agroindustri
PERSEMAIAN MANGROVE
Dosen
Pembimbing :
Dr. Agus Purwoko,
S.Hut, M.Si
Oleh :
Nofrizal Amri
111201160
HUT
- 6D
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang
pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik
hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan
laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di
darat maupun
yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi
yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji,
2001).
Sebagai salah satu
ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Asal kata
“mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat mengenai
asal-usul katanya. Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis
pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora
dan Nypa.
Sejauh
ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis
pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit
dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon
dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove),
sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis
mangrove ikutan (asociate).
Ekosistem mangrove
mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara
lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai
pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil
keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Melihat
beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang
berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove
yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi
oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung
mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.
Dampak dari aktivitas
manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan
hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara
tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta
hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang
angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka
3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73
juta hektar.
Konversi
dan hilangnya mangrove tampaknya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi pada
dekade terakhir ini saja. Kegiatan pembangunan utama yang memberikan sumbangan
terbesar terhadap menurunnya luas areal mangrove di Indonesia adalah
pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukan untuk
tambak dan areal pertanian (khususnya padi dan kelapa).
Telah
disebutkan didepan bahwa pembangunan tambak memberikan sumbangan terhadap
hilangnya mangrove. Selain itu, data juga menunjukan bahwa mangrove yang tersisa
juga mengalami ancaman berupa: a) konversi menjadi lahan pertanian, b) suksesi menjadi
vegetasi sekunder non-hutan setelah terjadinya eksploitasi berlebih oleh masyarakat
setempat, c) kurangnya regenerasi setelah dibabat untuk kepentingan komersial,
dan d) erosi pantai. Meskipun data sangat kurang, namun nampaknya faktor yang
memberi sumbangan penting terhadap hilangnya mangrove, selain konversi menjadi tambak,
adalah konversi menjadi lahan pertanian dan penebangan kayu secara komersial dan
dalam skala yang lebih kecil, serta eksploatasi berlebihan oleh masyarakat
setempat.
Disadari
bahwa mangrove memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan demikian, mempertahankan
areal-areal mangrove yang strategis, termasuk tumbuhan dan hewannya, sangat
penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Pada masa lalu, disaat tekanan penduduk
masih rendah, hal tersebut tidak menjadi masalah karena pada tingkat lokal manfaat
mangrove biasanya langsung disadari oleh masyarakat dan seringkali kawasan mangrove
dilindungi oleh hukum adat. Namun selama 2 - 3 dekade lalu, tekanan penduduk
semakin meningkat dengan tajam sehingga mengakibatkan permintaan akan sumberdaya
pertanian meningkat pula. Pada saat yang bersamaan, kegiatan perikanan dan
kehutanan juga meningkat dengan pesat dan menjadi faktor utama dalam perubahan lingkungan
mangrove. Dalam kondisi demikian, aturan setempat yang berupa hukum adat
seringkali terkesampingkan oleh insentif ekonomi jangka pendek.
Populasi
penduduk yang semakin bertambah menyebabkan meningkatnya konversi lahan
mangrove untuk pembangunan tambak serta meningkatkan permintaan terhadap kayu bakar.
Hal ini menyebabkan hampir 90 % hutan mangrove hilang. Maka untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan suatu kebijakan dan gagasan yang mendukung guna terciptanya
pengelolaan mangrove yang lestari, yang tidak hanya ditujukan untuk menjaga
lingkungan namun juga untuk mensejahterakan masyarakat sehingga masyarakat
merasa perlu dan penting untuk ikut berpartisapasi menjaga hutan mangrove.
Penyelesaian atas
krisis mangrove ini, salah satunya, menuntut adanya gerakan penghijauan atau
penanaman kembali (replantasi) yang otomatis menuntut disediakannya bibit mangrove
yang tidak saja besar dalam arti kuantitas, namun juga kualitas. Berdasarkan dari hal tersebut, maka diharapkan
masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanggulangan lahan kritis dan
pelestarian sumber daya alam, dengan jalan memanfaatkan lahan seoptimal mungkin
sesuai kemampuan lahan. Langkah pertama yang dilaksanakan yaitu dengan
pembuatan pembibitan tanaman untuk memenuhi kebutuhan akan bibit yang akan
diperlukan untuk menghijaukan lokasi dengan tanaman penghijauan (mangrove).
Untuk itu perlu peran
pemerintah, akademisi, serta masyarakat setempat untuk mewadahi dan mendukung
kegiatan guna peningkatan wawasan dan kesadaran masyarakat petani mangrove,
terutama menyangkut kemampuan dalam hal manajemen budidaya, teknologi mangrove
secara modern, secara berkesinambungan dan komprehensif.
GAGASAN
Musim tanam mangrove
tergantung pada penyediaan benih. Selain faktor kuantitas benih, keberhasilan
tumbuh mangrove ditentukan oleh kualitas benih. Benih yang layu, mati atau
lambat tumbuh harus disisihkan karena tidak layak tanam. Keterbatasan benih
layak tanam menghambat upaya rehabilitasi hutan mangrove.
Krisis mangrove
merupakan realitas yang harus segera diselesaikan. Semua pihak sepatutnya
mencermatinya sebagai ancaman yang jika tidak segera ditanggulangi maka dapat
berdampak luas. Kerusakan mangrove berarti pula rusaknya wilayah pesisir dimana
proses alam sekaligus kehidupan masyarakat wilayah pesisir pun terganggu.
Salah satu upaya untuk
merehabilitasi hutan mangrove adalah dengan gerakan penghijauan atau penanaman
kembali (replantasi). Penanaman kembali biasanya dilakukan dengan cara menanam
benih mangrove (propagule) langsung ataupun terlebih dahulu melalui
persemaian. Menurut Bangen (2002) tingkat keberhasilan penanaman benih mangrove
melalui persemaian terlebih dahulu relatif lebih tinggi (60% - 80%) bila
dibandingkan dengan menanam langsung di lokasi (hanya 20% - 30%). Yaitu dengan
cara disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam botol air
mineral bekas yang sudah berisi media tanah. Sebelumnya bagian bawah plastik
atau botol air mineral bekas diberi lubang sebagai tempat keluarnya air yang
berlebih. Namun untuk jenis mangrove yang mempunyai buah sedikit dan
kecil-kecil seperti Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Bruguiera
cylindrica dan Lumnitzera racemosa sangat sulit dilakukan
penanaman melalui persemaian bibit maupun secara alami. Untuk mengatasi hal
tersebut, perbanyakan dapat dilakukan secara Vegetatif yaitu sistem cangkok. Cara
mencangkok tumbuhan mangrove hampir sama dengan mencangkok tumbuhan darat
seperti tumbuhan mangga atau rambutan. Tahap-tahap mencangkok tumbuhan mangrove
adalah sebagai berikut memilih ranting, mengupas kulit kayu, mengerok kambium,
lalu membungkus cangkokan.
Keberhasilan
pembangunan hutan tanaman maupun kegiatan rehabilitasi lahan dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor diantaranya adalah tersedianya bibit tanaman dalam jumlah
yang cukup dengan ukuran yang siap tanam, sehat, berkualitas dan tepat waktu
pada waktu yang diperlukan. Mangrove merupakan habitat khusus yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Tempat tumbuh ini dipengaruhi pasang surut dan
banyak lumpurnya, sehingga bibit yang akan ditanam harus mempunyai vigor yang
baik. Bibit tersebut dapat diperoleh dari sumber benih yang bagus dan
disemaikan melalui kegiatan persemaian. Persemaian adalah suatu tempat yang
digunakan untuk menyemaikan benih suatu jenis tanaman dengan perlakuan dan
perawatan selama jangka waktu tertentu, sehingga akan dihasilkan bibit yang
berkualitas baik, yang memenuhi persyaratan umur, ukuran dan pertumbuhan yang
cukup baik dan siap untuk ditanam di lapangan. Bibit yang dihasilkan dapat
berupa bibit dalam kontainer, putaran, cabutan atau stump. Jenis-jenis yang
tumbuh di daerah mangrove antara lain; Rhizophora mucronata, Rh. apiculata,
Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Avicennia marina, A. Alba, Sonneratia
alba, S. caseolaris dan Xylocarpus granatum. Jenis Rh. Mucronata dan
Rh. apiculata merupakan jenis yang mempunyai biji (propagul) yang cukup
panjang, karena itu biasanya pada kondisi tertentu tidak diperlukan
pemeliharaan di persemaian. Namun demikian untuk mendapatkan keseragaman dalam
ukuran dan kualitas bibit, penyemaian jenis-jenis tersebut sangat dianjurkan.
Rancangan teknis
rehabilitasi mangrove meliputi :
1.
Pengumpulan Buah
Sebelum
melakukan persemaian, lakukanlah pengumpulan buah mangrove terlebih dahulu
untuk dijadikan bibit tanaman mangrove.
2. Penyiapan bibit
- bibit mangrove diusahakan berasal dari lokasi setempat atau lokasi terdekat
- bibit mangrove disesuaikan dengan kondisi tanahnya
- persemaian dilakukan di lokasi tanam untuk penyesuaian dengan lingkungan setempat
3. Pemilihan bibit mangrove
Penanaman
mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: menanam langsung buahnya, cara
ini memiliki tingkat keberhasilan antara 20-30%. Cara lain adalah melalui
persemaian bibit, dengan tingkat keberhasilan antara 60-80%.
Untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan antara bulan September hingga bulan Maret, dengan karakteristik sebagai berikut berdasarkan jenis tanaman mangrove:
Untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan antara bulan September hingga bulan Maret, dengan karakteristik sebagai berikut berdasarkan jenis tanaman mangrove:
- Bakau (Rhizophora spp.), buah sebaiknya dipilih dari pohon yang telah berusia di atas 10 tahun, buah yang baik dicirikan oleh hampir lepasnya bonggol buah dan batang buah, ciri buah yang sudah matang untuk jenis :
- bakau besar (Rhizophora mucronata): warna buah hijau tua atau kecoklatan dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning
- bakau kecil (Rhizophora apiculata): warna buah hijau kecoklatan dan warna kotiledon merah.
- Tancang (Bruguiera spp.), buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun, ciri buah yang matang: batang buah hampir lepas dari bonggolnya
- Api-api (Avicennia spp.), bogem (Sonneratia spp.) dan bolicella (Xylocarpus granatum)
- ciri buah yang matang: warna kecoklatan, agak ketas dan bebas dari hama penggerek
- lebih baik buah yang sudah jatuh dari pohon
4. Persemaian bibit mangrove
- Pemilihan tempat:
- lahan yang lapang dan datar,
- dekat dengan lokasi tanam,
- terendam air saat pasang, dengan frekuensi lebih kurang 20-40 kali/bulan, sehingga tidak memerlukan penyiraman.
- Untuk jenis Sonneratia spp. diperlukan bedengan tabur terlebih dahulu sebelum penyapihan.
- Untuk jenis Rhizopora spp. Avicennia spp., B. Gymnorrhiza, Xylocarpus granatum tidak memerlukan bedeng tabur
- Pembuatan bedeng persemaian
- ukuran bedeng disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya berukuran 1 x 5 meter atau 1×10 meter dengan tinggi 1 meter,
- Bedeng diberi naungan ringan dari daun nipah atau sejenisnya,
- Media bedengan berasal dari tanah lumpur di sekitarnya,
- Bedeng berukuran 1 x 5 meter dapat menampung bibit dalam kantong plastik (10 x 50 cm) atau dalam botol air mineral bekas (500 ml) sebanyak 1200 unit, atau 2.250 unit untuk bedeng berukuran 1 x 10 meter.
5. Pembibitan Mangrove
- Buah disemaikan langsung ke kantong- kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah.
- Sebelum diisi tanah, bagian bawah kantong plastik atau botol air mineral bekas diberi lubang agar air yang berlebihan dapat keluar.
- Khusus untuk buah bakau (Rhizopora spp.) dan tancang (Bruguiera spp.), sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat yang teduh dan ditutupi dengan karung basah selama 5-7 hari. Hal ini bermanfaat untuk menghindari propagul kering.
6.
Pemeliharaan dan Persemaian
Selama
proses persemaian bibit harus diperhatikan dengan cara disiram dan disiangi.
Penyiraman dilakukan apabila lokasi bedeng tidak terkena pasang surut.
Penyiraman dilakukan pagi dan siang hari atau minimal 2 kali setiap harinya.
Kegiatan penyiangan adalah kegiatan
pembersihan bibit dari tanaman-tanaman penganggu tumbuh didalam atau disekitar
bibit yang dapat mengganggu pertumbuhan bibit. Penyiangan sebaiknya dilakukan
setiap hari atau pada saat diperlukan.
Rancangan teknis ini,
akan dibuat berdasarkan pola pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat (berbasis
masyarakat). Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam
pengelolaan mangrove dengan cara
diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengelolaan yang
dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi,
sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para
pihak yang terlibat, mekanisme, serta insentif dan sanksi. Adapun pihak-pihak
yang terlibat ialah, pemerintah selaku fasilitator, dan pembuat kebijakan,
akademisi selaku pengembangan ilmu dan teknologi yang diterapkan, serta
masyarakat sebagai pelaksana.
Agar berjalan
dengan baik, sehingga masyarakat merasa ikut andil dalam hal ini ialah memadukan
kegiatan pengelolaan mangrove dengan produksi perikanan (silvofishery)
atau yang biasa disebut tambak (pekerjaan utama masyarakat umumnya). Disamping
hasil tambak para petani juga dapat menjual bibit dengan harga bibit siap tanam
berkisar antara Rp1000,00 hingga Rp2000,00 sebagai penghasilan tambahan serta
juga dapat pemanenan kayu mangrove secara
berkelanjutan yang berpotensi tinggi dengan adanya penanaman kembali oleh
masyarakat sehingga banyak nilai tambah yang bisa tercipta. Program ini pada dasarnya adalah merehabilitasi
lahan-lahan mangrove yang telah terdegradasi dengan penanaman pohon, dan
membangun saluran untuk budi daya ikan dan udang. Polanya adalah lahan pasang
surut seluas 80% sebagai hutan mangrove dan yang 20% digunakan sebagai kolam
untuk budidaya ikan. Dengan sistem ini, hasil ikan yang diperoleh memang sangat
rendah bila dibandingkan dengan sistem pengelolaan yang intensif, akan tetapi
sistem intensif membutuhkan investasi yang jauh lebih besar.
Dan agar
tidak terjadi kekeliruan dalam luas lahan yang digunakan untuk tambak,
pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang terkait penggunaan tata guna
lahan hutan mangrove serta beberapa peraturan dalam berbagai tingkat yang
berkaitan dengan pengelolaan mangrove.
Kebijakan-kebijakan
diatas sangat bermanfaat untuk memberikan kejelasan dalam pengelolaan sumber
daya mangrove. Akan tetapi disadari bahwa pengelolaan mangrove yang baik tidak
akan tercapai hanya dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan. Pengelolaan juga
akan sangat tergantung pada bagaimana mengakomodasikan serta mengontrol
kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove. Dan
pengembangan dan penerapan teknologi dari pihak akademisi juga perlu untuk
mengoptimalkan produksi bibit yang ingin dicapai untuk mendukung kegiatan
selanjutnya yaitu penanaman atau paling tidak ini akan memberi
stimulan bagi masyarakat untuk berkomunikasi dengan dunia akademis secara
konsisten. Harapannya adalah agar masyarakat para petani mangrove tersebut
menempatkan mangrove tidak saja sebatas sebagai penahan ombak laut dalam arti
fisik, namun sebagai bagian dari “rumah tangga” mereka, sebagai pelindung
sekaligus bagian dari sumber mata pencaharian. Hal ini merupakan modal yang
sangat baik, tidak saja secara ekologis pantai, namun juga ekonomi, bahkan
pendidikan dan budaya. Dengan
berkembangnya upaya-upaya penanaman mangrove, diharapkan dalam jangka panjang
manfaat dan fungsi mangrove dapat berjalan dan dirasakan kembali.
Penyiapan generasi ke
depan tentu sangat penting, sehingga aspek pendidikan jelas penting
diperhatikan. Salah satu langkah awal dalam hal ini adalah bagaimana melibatkan
generasi muda dalam pengelolaan budidaya mangrove, termasuk dalam penerapan
teknologi plasma pemercepat pembenihan ini, serta turut berpartisipasi dalam
pemasaran benih mangrove.
KESIMPULAN
1.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis.
2.
Mengingat aktivitas manusia dalam
pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi
aspek perlindungan dan konservasi.
3.
Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan
suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur
masyarakat yang terlibat.
DAFTAR
PUSTAKA
Bengen, G Dietrich. 2002. Pedoman Teknis
Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Kaswadji,
R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di
Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem
Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Khazali,
M. 1999. Panduan Teknis Penanaman
Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia
Programme. Bogor.
Irwanto.
2014. Hutan Mangrove dan Manfaatnya. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret
2014]. [16.10 WIB].
Muslikah, N. 2014. Pemberdayaan Kelompok
Tani melalui Pembuatan Bibit Mangrove. http://www.onrizal.files.wordpress.com. [15 Maret
2014]. [16.30 WIB].
Noor, Y.R., M. Khazali, I.N.N.
Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Nur, M.,
Nasruddin, J. Wasiq, Sumariyah. 2013. Penerapan Teknologi Plasma untuk
Mempercepat Persemaian Mangrove sebagai Upaya Rehabilitasi Green Belt untuk Mengatasi Abrasi.
UNDIP. Semarang.
Rochana, E. 2014. Ekosistem Mangrove dan
Pengelolaannya di Indonesia. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret
2014]. [16.00 WIB].
Soerianegara,
I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar
Jalur Hijau Hutan Mangrove.. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove.
Jakarta.
Sumedi.
2014. Perbanyakan Mangrove dengan Sistem Cangkok dalam Upaya Regenerasi Mangrove.
http://www.irwantoshut.com. [15 Maret
2014]. [16.20 WIB].
No comments:
Post a Comment