Tuesday, January 12, 2016

PERSEMAIAN MANGROVE




 Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian...

*****
Tugas Mata Kuliah Agroindustri                                                  
PERSEMAIAN MANGROVE
Dosen Pembimbing :
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si
Oleh :
Nofrizal Amri
111201160
HUT - 6D









Universitas-Sumatera-Utara




















PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001).
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.  Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat mengenai asal-usul katanya. Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate).
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan  pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
Konversi dan hilangnya mangrove tampaknya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi pada dekade terakhir ini saja. Kegiatan pembangunan utama yang memberikan sumbangan terbesar terhadap menurunnya luas areal mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukan untuk tambak dan areal pertanian (khususnya padi dan kelapa).
Telah disebutkan didepan bahwa pembangunan tambak memberikan sumbangan terhadap hilangnya mangrove. Selain itu, data juga menunjukan bahwa mangrove yang tersisa juga mengalami ancaman berupa: a) konversi menjadi lahan pertanian, b) suksesi menjadi vegetasi sekunder non-hutan setelah terjadinya eksploitasi berlebih oleh masyarakat setempat, c) kurangnya regenerasi setelah dibabat untuk kepentingan komersial, dan d) erosi pantai. Meskipun data sangat kurang, namun nampaknya faktor yang memberi sumbangan penting terhadap hilangnya mangrove, selain konversi menjadi tambak, adalah konversi menjadi lahan pertanian dan penebangan kayu secara komersial dan dalam skala yang lebih kecil, serta eksploatasi berlebihan oleh masyarakat setempat.
Disadari bahwa mangrove memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan demikian, mempertahankan areal-areal mangrove yang strategis, termasuk tumbuhan dan hewannya, sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Pada masa lalu, disaat tekanan penduduk masih rendah, hal tersebut tidak menjadi masalah karena pada tingkat lokal manfaat mangrove biasanya langsung disadari oleh masyarakat dan seringkali kawasan mangrove dilindungi oleh hukum adat. Namun selama 2 - 3 dekade lalu, tekanan penduduk semakin meningkat dengan tajam sehingga mengakibatkan permintaan akan sumberdaya pertanian meningkat pula. Pada saat yang bersamaan, kegiatan perikanan dan kehutanan juga meningkat dengan pesat dan menjadi faktor utama dalam perubahan lingkungan mangrove. Dalam kondisi demikian, aturan setempat yang berupa hukum adat seringkali terkesampingkan oleh insentif ekonomi jangka pendek.
Populasi penduduk yang semakin bertambah menyebabkan meningkatnya konversi lahan mangrove untuk pembangunan tambak serta meningkatkan permintaan terhadap kayu bakar. Hal ini menyebabkan hampir 90 % hutan mangrove hilang. Maka untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu kebijakan dan gagasan yang mendukung guna terciptanya pengelolaan mangrove yang lestari, yang tidak hanya ditujukan untuk menjaga lingkungan namun juga untuk mensejahterakan masyarakat sehingga masyarakat merasa perlu dan penting untuk ikut berpartisapasi menjaga hutan mangrove.
Penyelesaian atas krisis mangrove ini, salah satunya, menuntut adanya gerakan penghijauan atau penanaman kembali (replantasi) yang otomatis menuntut disediakannya bibit mangrove yang tidak saja besar dalam arti kuantitas, namun juga kualitas. Berdasarkan dari hal tersebut, maka diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanggulangan lahan kritis dan pelestarian sumber daya alam, dengan jalan memanfaatkan lahan seoptimal mungkin sesuai kemampuan lahan. Langkah pertama yang dilaksanakan yaitu dengan pembuatan pembibitan tanaman untuk memenuhi kebutuhan akan bibit yang akan diperlukan untuk menghijaukan lokasi dengan tanaman penghijauan (mangrove).
Untuk itu perlu peran pemerintah, akademisi, serta masyarakat setempat untuk mewadahi dan mendukung kegiatan guna peningkatan wawasan dan kesadaran masyarakat petani mangrove, terutama menyangkut kemampuan dalam hal manajemen budidaya, teknologi mangrove secara modern, secara berkesinambungan dan komprehensif.

GAGASAN
Musim tanam mangrove tergantung pada penyediaan benih. Selain faktor kuantitas benih, keberhasilan tumbuh mangrove ditentukan oleh kualitas benih. Benih yang layu, mati atau lambat tumbuh harus disisihkan karena tidak layak tanam. Keterbatasan benih layak tanam menghambat upaya rehabilitasi hutan mangrove.
Krisis mangrove merupakan realitas yang harus segera diselesaikan. Semua pihak sepatutnya mencermatinya sebagai ancaman yang jika tidak segera ditanggulangi maka dapat berdampak luas. Kerusakan mangrove berarti pula rusaknya wilayah pesisir dimana proses alam sekaligus kehidupan masyarakat wilayah pesisir pun terganggu.
Salah satu upaya untuk merehabilitasi hutan mangrove adalah dengan gerakan penghijauan atau penanaman kembali (replantasi). Penanaman kembali biasanya dilakukan dengan cara menanam benih mangrove (propagule) langsung ataupun terlebih dahulu melalui persemaian. Menurut Bangen (2002) tingkat keberhasilan penanaman benih mangrove melalui persemaian terlebih dahulu relatif lebih tinggi (60% - 80%) bila dibandingkan dengan menanam langsung di lokasi (hanya 20% - 30%). Yaitu dengan cara disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah. Sebelumnya bagian bawah plastik atau botol air mineral bekas diberi lubang sebagai tempat keluarnya air yang berlebih. Namun untuk jenis mangrove yang mempunyai buah sedikit dan kecil-kecil seperti Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Bruguiera cylindrica dan Lumnitzera racemosa sangat sulit dilakukan penanaman melalui persemaian bibit maupun secara alami. Untuk mengatasi hal tersebut, perbanyakan dapat dilakukan secara Vegetatif yaitu sistem cangkok. Cara mencangkok tumbuhan mangrove hampir sama dengan mencangkok tumbuhan darat seperti tumbuhan mangga atau rambutan. Tahap-tahap mencangkok tumbuhan mangrove adalah sebagai berikut memilih ranting, mengupas kulit kayu, mengerok kambium, lalu membungkus cangkokan.
Keberhasilan pembangunan hutan tanaman maupun kegiatan rehabilitasi lahan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah tersedianya bibit tanaman dalam jumlah yang cukup dengan ukuran yang siap tanam, sehat, berkualitas dan tepat waktu pada waktu yang diperlukan. Mangrove merupakan habitat khusus yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Tempat tumbuh ini dipengaruhi pasang surut dan banyak lumpurnya, sehingga bibit yang akan ditanam harus mempunyai vigor yang baik. Bibit tersebut dapat diperoleh dari sumber benih yang bagus dan disemaikan melalui kegiatan persemaian. Persemaian adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyemaikan benih suatu jenis tanaman dengan perlakuan dan perawatan selama jangka waktu tertentu, sehingga akan dihasilkan bibit yang berkualitas baik, yang memenuhi persyaratan umur, ukuran dan pertumbuhan yang cukup baik dan siap untuk ditanam di lapangan. Bibit yang dihasilkan dapat berupa bibit dalam kontainer, putaran, cabutan atau stump. Jenis-jenis yang tumbuh di daerah mangrove antara lain; Rhizophora mucronata, Rh. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Avicennia marina, A. Alba, Sonneratia alba, S. caseolaris dan Xylocarpus granatum. Jenis Rh. Mucronata dan Rh. apiculata merupakan jenis yang mempunyai biji (propagul) yang cukup panjang, karena itu biasanya pada kondisi tertentu tidak diperlukan pemeliharaan di persemaian. Namun demikian untuk mendapatkan keseragaman dalam ukuran dan kualitas bibit, penyemaian jenis-jenis tersebut sangat dianjurkan.
Rancangan teknis rehabilitasi mangrove meliputi :
1.    Pengumpulan Buah
Sebelum melakukan persemaian, lakukanlah pengumpulan buah mangrove terlebih dahulu untuk dijadikan bibit tanaman mangrove.
2.    Penyiapan bibit
  • bibit mangrove diusahakan berasal dari lokasi setempat atau lokasi terdekat
  • bibit mangrove disesuaikan dengan kondisi tanahnya
  • persemaian dilakukan di lokasi tanam untuk penyesuaian dengan lingkungan setempat
3.    Pemilihan bibit mangrove
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: menanam langsung buahnya, cara ini memiliki tingkat keberhasilan antara 20-30%. Cara lain adalah melalui persemaian bibit, dengan tingkat keberhasilan antara 60-80%.
Untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan antara bulan September hingga bulan Maret, dengan karakteristik sebagai berikut berdasarkan jenis tanaman mangrove:
  1. Bakau (Rhizophora spp.), buah sebaiknya dipilih dari pohon yang telah berusia di atas 10 tahun, buah yang baik dicirikan oleh hampir lepasnya bonggol buah dan batang buah, ciri buah yang sudah matang untuk jenis :
  2. bakau besar (Rhizophora mucronata): warna buah hijau tua atau kecoklatan dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning
    • bakau kecil (Rhizophora apiculata): warna buah hijau kecoklatan dan warna kotiledon merah.
    • Tancang (Bruguiera spp.), buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun, ciri buah yang matang: batang buah hampir lepas dari bonggolnya
  3. Api-api (Avicennia spp.), bogem (Sonneratia spp.) dan bolicella (Xylocarpus granatum)
    • ciri buah yang matang: warna kecoklatan, agak ketas dan bebas dari hama penggerek
    • lebih baik buah yang sudah jatuh dari pohon
4. Persemaian bibit mangrove
  1. Pemilihan tempat:
    • lahan yang lapang dan datar,
    • dekat dengan lokasi tanam,
    • terendam air saat pasang, dengan frekuensi lebih kurang 20-40 kali/bulan, sehingga tidak memerlukan penyiraman.
    • Untuk jenis Sonneratia spp. diperlukan bedengan tabur terlebih dahulu sebelum penyapihan.
    • Untuk jenis Rhizopora spp. Avicennia spp., B. Gymnorrhiza, Xylocarpus granatum tidak memerlukan bedeng tabur
  2. Pembuatan bedeng persemaian
    • ukuran bedeng disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya berukuran 1 x 5 meter atau 1×10 meter dengan tinggi 1 meter,
    • Bedeng diberi naungan ringan dari daun nipah atau sejenisnya,
    • Media bedengan berasal dari tanah lumpur di sekitarnya,
    • Bedeng berukuran 1 x 5 meter dapat menampung bibit dalam kantong plastik (10 x 50 cm) atau dalam botol air mineral bekas (500 ml) sebanyak 1200 unit, atau 2.250 unit untuk bedeng berukuran 1 x 10 meter.
5. Pembibitan Mangrove
  • Buah disemaikan langsung ke kantong- kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah.
  • Sebelum diisi tanah, bagian bawah kantong plastik atau botol air mineral bekas diberi lubang agar air yang berlebihan dapat keluar.
  • Khusus untuk buah bakau (Rhizopora spp.) dan tancang (Bruguiera spp.), sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat yang teduh dan ditutupi dengan karung basah selama 5-7 hari. Hal ini bermanfaat untuk menghindari propagul kering.
6. Pemeliharaan dan Persemaian
Selama proses persemaian bibit harus diperhatikan dengan cara disiram dan disiangi. Penyiraman dilakukan apabila lokasi bedeng tidak terkena pasang surut. Penyiraman dilakukan pagi dan siang hari atau minimal 2 kali setiap harinya.
Kegiatan penyiangan adalah kegiatan pembersihan bibit dari tanaman-tanaman penganggu tumbuh didalam atau disekitar bibit yang dapat mengganggu pertumbuhan bibit. Penyiangan sebaiknya dilakukan setiap hari atau pada saat diperlukan.
            Rancangan teknis ini, akan dibuat berdasarkan pola pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat (berbasis masyarakat). Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengelolaan yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat, mekanisme, serta insentif dan sanksi. Adapun pihak-pihak yang terlibat ialah, pemerintah selaku fasilitator, dan pembuat kebijakan, akademisi selaku pengembangan ilmu dan teknologi yang diterapkan, serta masyarakat sebagai pelaksana.
Agar berjalan dengan baik, sehingga masyarakat merasa ikut andil dalam hal ini ialah memadukan kegiatan pengelolaan mangrove dengan produksi perikanan (silvofishery) atau yang biasa disebut tambak (pekerjaan utama masyarakat umumnya). Disamping hasil tambak para petani juga dapat menjual bibit dengan harga bibit siap tanam berkisar antara Rp1000,00 hingga Rp2000,00 sebagai penghasilan tambahan serta juga dapat pemanenan kayu mangrove secara berkelanjutan yang berpotensi tinggi dengan adanya penanaman kembali oleh masyarakat sehingga banyak nilai tambah yang bisa tercipta. Program ini pada dasarnya adalah merehabilitasi lahan-lahan mangrove yang telah terdegradasi dengan penanaman pohon, dan membangun saluran untuk budi daya ikan dan udang. Polanya adalah lahan pasang surut seluas 80% sebagai hutan mangrove dan yang 20% digunakan sebagai kolam untuk budidaya ikan. Dengan sistem ini, hasil ikan yang diperoleh memang sangat rendah bila dibandingkan dengan sistem pengelolaan yang intensif, akan tetapi sistem intensif membutuhkan investasi yang jauh lebih besar.
Dan agar tidak terjadi kekeliruan dalam luas lahan yang digunakan untuk tambak, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang terkait penggunaan tata guna lahan hutan mangrove serta beberapa peraturan dalam berbagai tingkat yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove.
Kebijakan-kebijakan diatas sangat bermanfaat untuk memberikan kejelasan dalam pengelolaan sumber daya mangrove. Akan tetapi disadari bahwa pengelolaan mangrove yang baik tidak akan tercapai hanya dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan. Pengelolaan juga akan sangat tergantung pada bagaimana mengakomodasikan serta mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove. Dan pengembangan dan penerapan teknologi dari pihak akademisi juga perlu untuk mengoptimalkan produksi bibit yang ingin dicapai untuk mendukung kegiatan selanjutnya yaitu penanaman atau paling tidak ini akan memberi stimulan bagi masyarakat untuk berkomunikasi dengan dunia akademis secara konsisten. Harapannya adalah agar masyarakat para petani mangrove tersebut menempatkan mangrove tidak saja sebatas sebagai penahan ombak laut dalam arti fisik, namun sebagai bagian dari “rumah tangga” mereka, sebagai pelindung sekaligus bagian dari sumber mata pencaharian. Hal ini merupakan modal yang sangat baik, tidak saja secara ekologis pantai, namun juga ekonomi, bahkan pendidikan dan budaya. Dengan berkembangnya upaya-upaya penanaman mangrove, diharapkan dalam jangka panjang manfaat dan fungsi mangrove dapat berjalan dan dirasakan kembali.
Penyiapan generasi ke depan tentu sangat penting, sehingga aspek pendidikan jelas penting diperhatikan. Salah satu langkah awal dalam hal ini adalah bagaimana melibatkan generasi muda dalam pengelolaan budidaya mangrove, termasuk dalam penerapan teknologi plasma pemercepat pembenihan ini, serta turut berpartisipasi dalam pemasaran benih mangrove.





















KESIMPULAN
1.      Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis.
2.      Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.
3.      Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.






















DAFTAR PUSTAKA
Bengen, G Dietrich. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Irwanto. 2014. Hutan Mangrove dan Manfaatnya. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret 2014]. [16.10 WIB].
Muslikah, N. 2014. Pemberdayaan Kelompok Tani melalui Pembuatan Bibit Mangrove. http://www.onrizal.files.wordpress.com. [15 Maret 2014]. [16.30 WIB].
Noor, Y.R., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Nur, M., Nasruddin, J. Wasiq, Sumariyah. 2013. Penerapan Teknologi Plasma untuk Mempercepat Persemaian Mangrove sebagai Upaya Rehabilitasi Green Belt untuk Mengatasi Abrasi. UNDIP. Semarang.
Rochana, E. 2014. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret 2014]. [16.00 WIB].
Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove..  Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.
Sumedi. 2014. Perbanyakan Mangrove dengan Sistem Cangkok dalam Upaya Regenerasi Mangrove. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret 2014]. [16.20 WIB].

No comments:

LIRIK LAGU TERBARU ROHAKKU - JUN MUNTHE