Wednesday, January 13, 2016

Pengembangan Pengolahan Komoditas Kakao (Theobroma cacao L) Indonesia


Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian. *****



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agroindustri berasal dari dua kata, yaitu agricultural dan industry yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil komoditi pertanian sebagai bahan baku utamanya. Definisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil komoditi pertanian sebagai bahan baku yang dapat diolah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah serta mempunyai manfaat lebih dari hasil komoditi pertanian sebelumnya. Dari penjabaran diatas, dapat dikatakan agroindustri adalah sebuah revolusi dari pengolahan hasil pertanian dengan memberikan nilai tambah untuk menyukseskan pertanian.
Dalam agroindustri terdapat tiga basis iptek yang harus dimiliki, yaitu ilmu pertanian, ilmu teknik-teknologi, dan ilmu ekonomi manajemen. Tiga basis ilmu pengetahuan tersebut merupakan modal utama yang harus dimiliki untuk mengembangkan sebuah agroindustri. Agroindustri merupakan sub sektor yang luas yang meliputi industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir. Industri hulu adalah industri yang memproduksi hasil komoditi pertanian serta alat-alat mesin pertanian dan industri sarana produksi yang digunakan dalam proses budidaya pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi yang memiliki nilai tambah atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.
Dalam kerangka pembangunan pertanian, agroindustri merupakan penggerak utama perkembangan sektor pertanian, terlebih dalam masa yang akan datang posisi pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga peranan agroindustri akan semakin besar. Dengan kata lain, dalam upaya mewujudkan sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien sehingga mampu menjadi leading sector dalam pembangunan nasional, harus ditunjang melalui pengembangan agroindustri, menuju agroindustri yang tangguh, maju serta efisien.
Adapun salah satu contoh dari pengembangan agroindustri adalah pengembangan komoditi kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558 Ha (tahun 2009). Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.
Tantangan dalam pengembangan kakao antara lain belum berkembangnya Industri hilir kakao di dalam negeri, kakao diekspor dalam bentuk primer sehingga proses nilai tambah tidak terjadi di dalam negeri. Berbagai kelembagaan petani yang ada belum mandiri dan berfungsi secara optimal, sehingga belum mampu memanfaatkan peluang usaha yang ada. Belum diterapkannya SNI dan sistem jaminan mutu secara optimal. Peluang pengembangan kakao antara lain peningkatan pasar dalam negeri, peningkatan produksi dan pasar kakao. Pasca panen dan pengolahan kakao masih bersifat tradisional yaitu dengan pengeringan biasa (dryer), sedangkan pengolahan terpadu (industri hilir) mengolah biji kakao menjadi bubuk / pasta belum ada dan sangat terbuka adanya peluang investasi industri hilirnya.
Untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.

Tujuan
Tujuan dari paper yang berjudul “Pengembangan Pengolahan Komoditas Kakao (Theobroma cacao L) Indonesia” adalah untuk mengetahui nilai tambah produk kakao Indonesia.











PEMBAHASAN
Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :
Divisi               :           Spermatophyta
Anak divisi      :           Angioospermae
Kelas               :           Dicotyledoneae
Anak kelas      :           Dialypetalae
Bangsa                        :           Malvales
Suku                :           Sterculiaceae
Marga              :           Theobroma
Jenis                :           Theobroma cacao L
Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar: kakao mulia ("edel cacao") dan kakao curah/lindak ("bulk cacao"). Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa, seperti di Kabupaten Jember yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero). Kultivar-kultivar penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang dilakukan pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan "DR" (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa Tengah). Kakao mulia berpenyerbukan sendiri dan berasal dari tipe Criollo. Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari kultivar-kultivar yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya
Kakao atau cokelat merupakan tanaman industri perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PT Perkebunan VI berhasil menaikkan produksi kakao per hektar melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan hasil persilangan antar klon dan sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec di Amerika Serikat dipercaya sebagai perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal tanaman kakao. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia.
Untuk meningkatkan nilai tambah produk kakao Indonesia semestinya para pelaku usaha kakao akan mengekspor hasil produknya bukan saja biji kakao tetapi biji kakao yang sudah difermentasi. Karena nilai tambah kakao fermentasi lebih tinggi. Di sisi lain, peningkatan nilai tambah dapat terus ditingkatkan seiring dengan pemanfaatan kakao untuk bahan baku berbagai produk inovasi lainnya seperti berbagai aneka hasil olahan seperti cokelat atau makanan.
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao.  Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk cita rasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji.  Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti fermentasi tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam kotak.  Pemilihan metodenya tergantung pada kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna menentukan cita rasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah.
Biji buah kakao/coklat yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao dan produk setengah jadi jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter.
Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji kakao dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika.
Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman cokelat .
Lemak cokelat atau cocoa fat atau cocoa butter merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik bekunya. Lemak cokelat dikeluarkan dari pasta cokelat dengan cara dikempa atau dipres. Pasta kakao dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang memiliki dinding silinder yang diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati lubang-lubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat sebagai hasil sampingnya akan tertahan di dalam silinder.
Lemak cokelat mempunyai warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat. Lemak cokelat mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda pada suhu kamar, tergantung asal dan tempat tumbuh tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia, khususnya Sulawesi memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi bila dibandingkan lemak cokelat dari Afrika Barat; dan sifat ini sangat disukai oleh pabrik makanan cokelat karena produk menjadi tidak mudah meleleh saat didistribusikan ke konsumen.
Bubuk cokelat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, setelah penghalusan perlu dilakukan pengayakan. Bubuk cokelat relatif sulit dihaluskan dibandingkan bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya kandungan lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat dihaluskan sehingga menyebabkan komponen alat penghalus bekerja tidak optimal. Pada suhu yang lebih rendah dari 34ºC, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk menggumpal dan membentuk bongkahan (lump). Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pada biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikunsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika. Berikut lampiran pohon industri dari buah kakao :
Gambar 1. Pohon industri buah kakao (Theobroma cacao)

Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%) tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
Capture.PNG
Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’lvoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari total areal kakao khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta per tahun. Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman klonal.














PENUTUP
Kakao atau cokelat merupakan tanaman industri perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Diperlukan pengembangan produk turunan kakao sehingga tidak hanya produk primer seperti biji kakao mentah tetapi perlu dilakukan upaya pergeseran (shifting) keunggulan dari sektor primer menuju sektor pengolahan kakao seperti cocoa powder, cocoa butter karena mempunyai nilai tambah (vallue added) lebih besar dibanding ekspor biji kakao.















DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul , Ediana Rae, Dian dan Joseph PR. Charles, 2007, Kerja Sama Perdagangan Internasional, Peluang dan Tantangan bagi Indonesia, Penerbit PT Elex media Komputindo, Jakarta

Frans, Hero K. Purba. Upaya Daya Saing dalam Perkembangan Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional dalam  http://heropurba.blogspot.com/2014/03/ upaya-daya-saing-dalam-perkembangan.html

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi permasalahan praktis), PT. Agromedia Pustaka.

Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

No comments:

LIRIK LAGU TERBARU ROHAKKU - JUN MUNTHE