Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian. *****
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Agroindustri berasal dari dua kata, yaitu agricultural dan industry
yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil komoditi pertanian sebagai
bahan baku utamanya. Definisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan
industri yang memanfaatkan hasil komoditi pertanian sebagai bahan baku yang
dapat diolah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah serta mempunyai manfaat
lebih dari hasil komoditi pertanian sebelumnya. Dari penjabaran diatas, dapat
dikatakan agroindustri adalah sebuah revolusi dari pengolahan hasil pertanian
dengan memberikan nilai tambah untuk menyukseskan pertanian.
Dalam agroindustri terdapat tiga basis iptek yang harus dimiliki, yaitu
ilmu pertanian, ilmu teknik-teknologi, dan ilmu ekonomi manajemen. Tiga basis
ilmu pengetahuan tersebut merupakan modal utama yang harus dimiliki untuk
mengembangkan sebuah agroindustri. Agroindustri merupakan sub sektor yang luas
yang meliputi industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir.
Industri hulu adalah industri yang memproduksi hasil komoditi pertanian serta
alat-alat mesin pertanian dan industri sarana produksi yang digunakan dalam
proses budidaya pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri yang
mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi
yang memiliki nilai tambah atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan
hasil pertanian.
Dalam kerangka pembangunan pertanian, agroindustri merupakan penggerak
utama perkembangan sektor pertanian, terlebih dalam masa yang akan datang
posisi pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga
peranan agroindustri akan semakin besar. Dengan kata lain, dalam upaya
mewujudkan sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien sehingga mampu
menjadi leading sector dalam pembangunan nasional, harus ditunjang
melalui pengembangan agroindustri, menuju agroindustri yang tangguh, maju serta
efisien.
Adapun salah satu contoh dari pengembangan agroindustri adalah pengembangan
komoditi kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya
cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan
kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan
dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun
2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub
sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701
juta.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan
pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan
kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar
(87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta
6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian
besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan
jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Biji kakao maupun
produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara
internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan
biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya,
ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar
negeri komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar
negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut
meningkat menjadi 1.432.558 Ha (tahun 2009). Secara rata-rata pertumbuhan luas
perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar
8 persen.
Tantangan dalam pengembangan kakao antara lain belum
berkembangnya Industri hilir kakao di dalam negeri, kakao diekspor dalam bentuk
primer sehingga proses nilai tambah tidak terjadi di dalam negeri. Berbagai
kelembagaan petani yang ada belum mandiri dan berfungsi secara optimal,
sehingga belum mampu memanfaatkan peluang usaha yang ada. Belum diterapkannya
SNI dan sistem jaminan mutu secara optimal. Peluang pengembangan kakao antara
lain peningkatan pasar dalam negeri, peningkatan produksi dan pasar kakao.
Pasca panen dan pengolahan kakao masih bersifat tradisional yaitu dengan
pengeringan biasa (dryer), sedangkan pengolahan terpadu (industri hilir)
mengolah biji kakao menjadi bubuk / pasta belum ada dan sangat terbuka adanya
peluang investasi industri hilirnya.
Untuk pengembangan dan
peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian
kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan
meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia
hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara
produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai,
seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik
dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat
dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan
mutu dan konsistensi standar mutu.
Tujuan
Tujuan dari paper yang berjudul “Pengembangan Pengolahan Komoditas Kakao (Theobroma cacao L) Indonesia” adalah untuk mengetahui nilai
tambah produk kakao Indonesia.
PEMBAHASAN
Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis
marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut
Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak
divisi : Angioospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak
kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis :
Theobroma cacao L
Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok
besar: kakao mulia ("edel cacao") dan kakao curah/lindak
("bulk cacao"). Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa
perkebunan tua di Jawa, seperti di Kabupaten Jember yang
dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero). Kultivar-kultivar
penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang dilakukan
pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan
"DR" (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama
perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa Tengah).
Kakao mulia berpenyerbukan
sendiri dan berasal dari tipe
Criollo. Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao
curah. Kakao curah berasal dari kultivar-kultivar yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun
produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan
lemaknya
Kakao atau cokelat
merupakan tanaman industri perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak
tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah
Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975,
setelah PT Perkebunan VI berhasil menaikkan produksi kakao per hektar melalui
penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan
hasil persilangan antar klon dan sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari
Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec di Amerika Serikat dipercaya sebagai
perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke
XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal
tanaman kakao. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara,
Afrika dan Asia.
Untuk meningkatkan
nilai tambah produk kakao Indonesia semestinya para pelaku usaha kakao akan
mengekspor hasil produknya bukan saja biji kakao tetapi biji kakao yang sudah
difermentasi. Karena nilai tambah kakao fermentasi lebih tinggi. Di sisi lain,
peningkatan nilai tambah dapat terus ditingkatkan seiring dengan pemanfaatan
kakao untuk bahan baku berbagai produk inovasi lainnya seperti berbagai aneka
hasil olahan seperti cokelat atau makanan.
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao. Proses
ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan
biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk cita rasa cokelat
yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada
biji. Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti
fermentasi tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam
kotak. Pemilihan metodenya tergantung pada kemudahan penerapan dan
memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna menentukan cita rasa biji kakao dan produk
olahannya, termasuk juga karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan
yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari
sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang
atau tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga
seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak dikehendaki, seperti rasa
masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah.
Biji buah kakao/coklat
yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk.
Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan
dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan
pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao
setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa
powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji
kakao dan produk setengah jadi jadi seperti cocoa powder dan cocoa
butter.
Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan
petani kakao dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama
adalah penelitian untuk menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk
primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji
kakao dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk
sekunder kakao sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani.
Produk olahan dari biji kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak,
dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri
makanan, farmasi, dan kosmetika.
Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari
biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang
semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat diproses
lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku
pembuatan produk makanan dan minuman cokelat .
Lemak cokelat atau cocoa fat atau cocoa butter merupakan
lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di
bawah titik bekunya. Lemak cokelat dikeluarkan dari pasta cokelat dengan cara
dikempa atau dipres. Pasta kakao dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang
memiliki dinding silinder yang diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan
lemak akan keluar melewati lubang-lubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat
sebagai hasil sampingnya akan tertahan di dalam silinder.
Lemak cokelat mempunyai warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat.
Lemak cokelat mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda pada suhu kamar,
tergantung asal dan tempat tumbuh tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia,
khususnya Sulawesi memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi bila dibandingkan
lemak cokelat dari Afrika Barat; dan sifat ini sangat disukai oleh pabrik
makanan cokelat karena produk menjadi tidak mudah meleleh saat didistribusikan
ke konsumen.
Bubuk cokelat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan
bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang
seragam, setelah penghalusan perlu dilakukan pengayakan. Bubuk cokelat relatif
sulit dihaluskan dibandingkan bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya
kandungan lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas
gesekan pada saat dihaluskan sehingga menyebabkan komponen alat penghalus
bekerja tidak optimal. Pada suhu yang lebih rendah dari 34ºC, lemak menjadi
tidak stabil menyebabkan bubuk menggumpal dan membentuk bongkahan (lump).
Cocoa
powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pada biscuit,
ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai
pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikunsumsi
oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan
permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika.
Berikut lampiran pohon industri dari buah
kakao :
Gambar 1. Pohon
industri buah kakao (Theobroma cacao)
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah
dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai
cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia
tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan
dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik
ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk
menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao
Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas
kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk
masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal
ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis
kakao.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman
perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum
menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha
(7,8%) tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha,
dimana produktivitas perkebunan rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas
perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan produktivitas
perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal
perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga
perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao
ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku Utara dan Irian Jaya.
Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan
hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan
dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar
kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’lvoire) pada tahun 2002,
walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International
Cocoa Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut
salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat
ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari total areal kakao
khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta
per tahun. Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh
masih dominannya kebun yang dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat
dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman klonal.
PENUTUP
Kakao atau cokelat merupakan tanaman industri
perkebunan, pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi
komoditi yang penting sejak tahun 1951. Kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah
dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai
cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia
tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan
dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik
ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk
menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka. Diperlukan pengembangan produk turunan
kakao sehingga tidak hanya produk primer seperti biji kakao mentah tetapi perlu
dilakukan upaya pergeseran (shifting) keunggulan dari sektor primer
menuju sektor pengolahan kakao seperti cocoa powder, cocoa butter karena
mempunyai nilai tambah (vallue added) lebih besar dibanding ekspor biji
kakao.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Syamsul
, Ediana Rae, Dian dan Joseph PR. Charles, 2007, Kerja Sama Perdagangan
Internasional, Peluang dan Tantangan bagi Indonesia, Penerbit PT Elex media
Komputindo, Jakarta
Frans, Hero K.
Purba. Upaya Daya Saing dalam Perkembangan Kakao Indonesia dalam Perdagangan
Internasional dalam
http://heropurba.blogspot.com/2014/03/
upaya-daya-saing-dalam-perkembangan.html
Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi
permasalahan praktis), PT. Agromedia Pustaka.
Tjitrosoepomo,
Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada.
No comments:
Post a Comment