Hai sobat blogger. Ini adalah tugas yang pernah kami buat dari satu mata
kuliah di Kehutanan USU. Kebetulan yang bertugas mengumpul dan
mengupload nya adalah aku. Waktu buka-buka laptop,lihat ini lagi, karena
tugas ini waktu aku semester 6. Kalau dismpan-simpan, gak ada gunanya
juga samaku, jadi aku bagikan saja di sini. Manatau ada yang
memerlukannya. Selamat membaca... Salam Harjoshrian...
*****
Tugas Gagasan Agroindustri Medan, Maret 2014
PENGGUNAAN SISTEM VERIFIKASI
DAN LEGALITAS KAYU (SVLK) SECARA ON LINE
UNTUK MENINGKATKAN PROSPEK AGROINDUSTRI KAYU
Dosen Pembimbing :
Dr. Agus Purwoko, S. Hut.,
M.Si
OLEH :
Evan
Satria Saragih
111201133
HUT
6D
PROGRAM
STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Yang menjadi latar belakang dibuatnya sistem vertifikasi
legalitas kayu adalah maraknya tindakan illegal logging dan illegal
trade, image pengelolaan indonesia kurang baik, rendahnya daya saing produk
Indoonesia, tren legalitas kayu di perdagangan internasional, dan kesepakatan
internasional Bali Fleg Declaration 2001. SVLK ini dilaksanakan dengan
berlandaskan hukum UU No.41 th. 1999 tentang kehutanan, PP No. 6 th. 2007 No. 3 Th. 2008 tentang tata hutan, serta
pemanfaatan hutan, Permenhut P.38/Menhut-ll/2009 terakhir dirubah dengan
P.42/Menhut-ll/2013 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang ijin atau
pada Hutan Hak, Peraturan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan
Verifikasi Legalitas Kayu.
SVLK dibangun dengan prinsip Tata kelola yang lebih baik
(governance), keterwakilan (representativeness), transparansi/ keterbukaan (credibility).
Objek dari kebijakan ini adalah HA/HT/Pemegang Hak Pengelolaan (a.l.
Perhutani), Hutan Tanaman Rakyat (HTR)/ Hutan Kemasyarakatan (HKm)/ Hutan Desa
(HD), IPK/ILS/HTHR, Hutan Hak/Hutan Milik, Industri Pengrajin Pedagang Ekspor,
TPT.
Jangka waktu sertivikasi dan penilikan SVLK
bermacam-macam. Misalnya jangka sertifikasi tiga tahun untuk IUPHHK, sepuluh tahun untuk Hutan Hak, enam
tahun untuk TDI dan lain-lain. Sedangkan untuk penilikan ada yang satu tahun
sekali, dan ada juga yang dua tahun sekali.
Akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk mencapai
pengelolaan hutan yang berkelanjutan, juga akan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dari produk
hasil hutan. Maka dari itu, bukan hanya Pemerintah yang dalam hal ini dipegang
oleh Kementrian Kehutanan yang mendukung terselenggaranya SVLK, melainkan juga
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Rumusan Permasalahan
SVLK
memiliki tantangan dalam sertifikasi Hutan Hak. Yaitu membutuhkan biaya yang
cukup besar untuk melakukan proses sertifikasi (Pemerintah menanggung biaya
sertifikasi dan biaya pendampingannya), petani hutan harus menyisihkan hasil
panen untuk proses penilikan (surveilence), bila telah menghasilkan,
keterbatasan masyarakat untuk memenuhi persyaratan sertifikasi, pandangan masyarakat
tentang untung atau rugi mengikuti SVLK.
Hambatan
lainnya adalah persoalan black campaign dari pada pelaku bisnis
perijinan yang sudah pasti merasa terganggu dengan adanya sistem ini.
Mereka yang paling terkena dampak merugi (negatif) jika semua pihak menyiapkan
perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan transparansi proses penilaian dan
legalitas dalam SVLK. Sehingga seringkali media digunakan untuk menolak
diberlakukannya SVLK, dengan menggunakan terminologi bahwa SVLK
mahal dan membebani pelaku usaha. Untuk perbaikan tata-kelola kehutanan
ini memang harus dibayar mahal oleh pelaku usaha kehutanan dan industri
kehutanan skala besar. Di Sumatra Utara, banyak dari organisasi
non-pemerintah yang bergiat pada isu kehutanan masyarakat atau konservasi.
Latar belakang pendidikan sangat beragam. Meskipun di Sumatra utara ada
keseragaman lembaga, tetap saja terdapat keberagaman latar belakang pendidikan.
Ini menimbulkan potensi keberagaman kapasitas penyerapan informasi dan
pengetahuan.
Tujuan dan Manfaat
1.
Hutan
Rakyat memiliki posisi tawar yang kuat dalam transaksi nilai jual hasil
hutannya kepada industri,
2.
Meningkatkan
pendapatan petani, karena petani bisa langsung berhubungan dengan industri,
3.
Memberikan
gambaran tentang potensi ekonomi yang dimiliki,
4.
Kejelasan
penguasaan lahan, mudah mengakses fasilitas yang disediakan oleh pemerintah
terkait dengan pembangunan hutan, misalnya mendapat fasilitas dari BLU,
5.
Kepastian
supply bahan baku bagi industri, dan
6.
Pemerintah
mempunyai data Hutan Rakyat yang aktual.
7.
Pemerintah mendapat
kemudahan karena telah terbantu dalam hal:
-
Akses informasi yang mudah
telah diinformasikan kepada seluruh pihak tanpa melibatkan banyak peran di
dalamnya.
-
Tanpa menunggu kinerja beberapa
pihak yang biasanya lambat dan cenderung melibatkan banyak peran.
-
Menjadi suatu gagasan untuk
diterapkan di seluruh industri kehutanan skala kecil, menengah hingga besar di
Indonesia.
-
Secara langsung program SVLK
telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan martabat Indonesia di
pasar Internasional.
-
Produk kehutanan dengan mudah
diterima di pasar Internasional.
GAGASAN
SVLK bermula dari pembahasan
multi-pihak sejak tahun 2003 yang kemudian melahirkan Permenhut No.
P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau
pada Hutan Hak. Peraturan inilah yang kemudian dikenal luas sebagai sistem
verifikasi legalitas kayu (SVLK). Peraturan ini kemudian disempurnakan melalui
Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011.
SVLK merupakan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjawab
tantangan perdagangan kayu internasional yang memerlukan bukti legalitas.
Uni Eropa telah
mengadopsi Timber Regulation untuk menghambat beredarnya kayu ilegal di pasar
Eropa. Timber Regulation akan mulai efektif berlaku sejak Maret 2013. Mulai
saat itu import kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa yang berasal dari
negara-negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due diligence untuk menghindari masuknya
kayu-kayu illegal ke pasar Uni Eropa. Due
diligence dan Timber Regulation
tidak berlaku manakala suatu negara eksportir kayu seperti Indonesia
menandatangani Voluntary Partnership
Agreement (VPA) dengan Uni Eropa. Sampai dengan tahun 2008, standar dan
kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut belum secara
utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak kepentingan (multi-stakeholders)
terutama bagi pihak-pihak yang kelak akan menggunakan sistem tersebut.
Sebagai contoh, sebuah
perusahaan multinasional, PT RAPP sangat ketat dalam menerapkan standar
legalitas kayu. Karena itu, wajar mendapatkan sertifikasi SVLK. PT Riau Andalan
Pulp and Paper (RAPP) mengantongi sertifikat Legalitas Kayu (LK) dari asesor
independen PT Mutuagung Lestari (MAL). Sertifikat tersebut mengacu kepada
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diterapkan Indonesia untuk
memastikan bahan baku kayu yang diolah berasal dari sumber yang legal.
Perkembangannya sangat baik, karena sejak diundangkannya
SVLK sebagai suatu kebijakan di Kementerian Kehutanan, guliran bola salju
perubahan kebijakan semakin membesar. Koordinasi antar kementerian terkait
dan lembaga lainnya terjadi secara nyata. Salah satunya adalah koordinasi antar
Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Ditjen Bea dan Cukai, KAN, para
asosiasi dan beberapa pihak lainnya termasuk perwakilan LSM, tentang pergantian
peran, fungsi dan mekanisme Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK)
sebagai lembaga endorsemen ekspor produk perkayuan Indonesia. Selama ini,
tata cara ekspor produk perkayuan diatur melalui peraturan Menteri
Perdagangan No. P.20/2009.
Kemudian dengan keputusan Mendag No. Kep 405/2009 BRIK diberikan mandat untuk
melakukan endorsemen terhadap 11 HS produk kehutanan. Karena SVLK dinilai
jauh lebih memiliki kredibilitas dan keberterimaan di pasar kayu internasional
sebagai suatu sistem yang secara independen membuktikan legalitas produk
perkayuan Indonesia melalui verifikasi administrasi dan fisik di lapangan, maka
peraturan Menteri Perdagangan tersebut direvisi dengan melibatkan juga para
pihak dan aka n segera difinalkan oleh Menteri Perdagangan .
Selain
itu Indonesia memiliki bahan baku seperti kayu
mahoni, kayu jati, serta rotan, yang tidak dijumpai di negara lain. Keuntungan
ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor mebel nasional. Sekarang
ini, Indonesia masih mengekspor mebel kayu dengan nilai hanya 1,6 miliar
dolar AS, ditambah ekspor rotan 200 juta dolar AS, atau masih di bawah dua
miliar dolar AS.Masalah utama tidak kompetitifnya ekspor mebel nasional
terletak pada permasalahan biaya
transportasi yang mahal. Pemerintah akan terus berupaya mencarikan
solusi atas hal tersebut. Pemerintah juga akan mempertimbangkan penanggungan
biaya sertifikasi sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) hingga lebih dari
satu tahun. Namun, asosiasi ingin agar penanggungan tersebut lebih dari
setahun. Sementara itu, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI)
menyatakan jika ekspor industri furnitur atau mebel Indonesia saat ini masih
kalah dengan Malaysia dan Vietnam. Saat ini, Indonesia hanya berada peringkat
ke-13 sebagai negara pengekspor industri mebel. Total ekspor mebel dunia
sepanjang 2013 mencapai 124 miliar dolar AS. Sedangkan porsi ekspor mebel
Indonesia hanya mencapai 1,5 persen dari total tersebut, atau hanya 1,7 miliar
dolar AS. Posisi Indonesia jauh di bawah ekspor mebel Vietnam yang mampu
mencapai ekspor sekitar 4,2 miliar dolar AS. Bahkan, Malaysia yang SDM dan SDA
jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia mampu mengekspor mebel sebesar 2,4
miliar dolar AS. Padahal, 10 tahun silam, industri mebel Vietnam dan Malaysia
belum diperhitungkan. Namun saat ini Malaysia sudah mengukuhkan diri sebagai
pengekspor mebel peringkat kedelapan dunia. Menperin sendiri mengaku resah
melihat realita tersebut. Karena itu, para pelaku usaha diminta untuk
meningkatkan produksi dan kreativitasnya di produk mebel agar kian bersaing di
kancah internasional.
SVLK juga terkait erat dengan tata
pemerintahan dalam sektor kehutanan. Tata pemerintahan sektor kehutanan cukup
membantu proses penguatan dan implementasi SVLK di tanah air
karena konteksnya bukan membantu tapi mereka yang harus melakukan reformasi dan
menjadi mesin perubahan bagi semua pihak di Indonesia. Sekali lagi, tidak
mudah tapi harus! Melihat kemajuan SVLK, MFP adalah sebuah program
kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris bagi perbaikan tata
kelola kehutanan. Sehingga untuk melihat fokus MFP ke depan, sebaiknya
ditanyakan pada kedua pihak tersebut, karena saya tidak memiliki kapasitas
untuk menjawabnya. Namun harapannya, peran MFP sebagai fasilitator proses
dan pembangunan sistem ini perannya harus mulai dikurangi, agar bola salju yang
telah bergulir cukup besar menjadi drive
bagi perbaikan tata kelola sumber daya hutan di negeri ini karena SVLK adalah national
brand.
Mungkin sebenarnya pasar bukan menginginkan
SVLK, tetapi yang diinginkan adalah keterbukaan dalam pengaturan dalam tata
usaha kayu sehingga semua produk kayu yang masuk ke pasar bisa diketahui oleh
publik terhadap keabsahan legalitasnya termasuk mengetahui dari petak pohon
mana produk tersebut ditebang, kawasan hutan atau bukan, pemiliknya siapa,
bagaimana yang mengelola hutannya, dan sebagainya. Apapun bentuk sistem dan
kelembagaan yang ingin digunakan yang penting bisa menjelaskan proses kesemua
(transparansi) itu pada pasar, maka respon positif terhadap harga produk
bersangkutan akan meningkat.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memiliki
beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan Pelaksana,
Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan
Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki fungsi dan tugas
masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri
dari unsur-unsur berbagai pihak. Hal ini untuk menjamin bahwa proses dalam
sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui oleh semua pihak terhadap
kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan. Sehingga akan memberikan
respon positif terhadap pasar baik nasional maupun internasional. Namun,
kesemua lembaga dan badan tersebut akan memperoleh mandat dari Departemen
Kehutanan, terkecuali untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu didaftarkan di
Departemen Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen Kehutanan yang
menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada dalam naungan
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
KESIMPULAN
Gagasan ini mengajukan untuk membuat sistem
informasi on-line sebagai media pengenalan SVLK bagi para pihak yang memuat
informasi-informasi mengenai perundangan, tata cara
pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk
mendapatkan SVLK. Sistem informasi ini nantinya dapat diakses oleh semua
kalangan, khususnya industri kehutanan. Sehingga melalui program ini, kalangan
industri kehutanan mendapat pengetahuan baru akan pentingnya mengantongi
sertifikat legalitas. Hal ini tentunya berdampak secara langsung pada
pengelolaan hutan yang lestari sehingga mampu menjaga sisa hutan yang ada dan
meningkatkan martabat Indonesia di mata Internasional karena pelaksanaan SVLK
di dunia akan pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Melalui hal kecil penulis
mengambil peran untuk memajukan dan mensukseskan pelaksanaan SVLK.
Teknik dalam pembuatan sistem
informasi on-line sebagai media
pengenalan SVLK di berbagai industri kehutanan adalah melalui kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang terkait di bidangnya, yakni dosen, lembaga pelaksana,
operator (teknisi) yang berpengalaman, lembaga verifikasi, dan lembaga
pemantau. Penulis melihat pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang terlibat sudah
menjamin keberhasilan program ini.. Sehingga sistem informasi on-line ini terbuka secara umum untuk
diakses masyarakat luas dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan segera
dijawab dalam waktu 1x24 jam.
Penulis percaya apabila program ini
dilaksanakan akan berdampak positif terhadap semua pihak termasuk kalangan
industri kehutanan sendiri. Prediksi penulis bahwa tingkat keberhasilan program
ini mencapai 80% apabila dilaksanakan. Tentunya semua pihak yang mengakses
website dan benar-benar mempelajarinya mendapatkan pengetahuan secara langsung.
Manfaat dan dampak dari gagasan ini yaitu secara
langsung program SVLK telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan
martabat Indonesia di pasar Internasional serta produk kehutanan dengan mudah
diterima di pasar Internasional karena telah memiliki sertifikat legalitas
DAFTAR PUSTAKA
http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3
No comments:
Post a Comment